Sabtu, 20 November 2010

IKEBANA DAN IKENOBO

Beberapa waktu lalu saya iseng cari-cari artikel Nuansa untuk saya jadikan korban menuh-menuhin isi blog ini.

Artikel pertama yang menarik minat saya itu adalah tentang Ikenobo. Setelah selesai menulis, iseng-iseng saya buka Nuansa yang lainnya. Dan rupanya saya menemukan artikel tentang Ikebana!

Bila mengingat Nuansa dapat menuliskan apapun tentang Jepang mungkin itu bukanlah sesuatu yang terlalu aneh. Tapi yang membuat saya heran, rupanya dua artikel tersebut ditulis pada edisi awal tahun dan edisi akhir tahun 2009! Wiw!

Tapi kenapa awal pembuka pada kedua artikel tersebut seperti tidak nyambung yes? Humm..

-Mohon maaf bila artikel yang saya tulis ini hampir sama dengan yang ditulis di web Japan Foundation.. Namanya juga iseng bigsmilev-



Tidak ada yang tahu darimana Ikebana berasal, tetapi diperkirakan ia masuk ke Jepang bersamaan dengan masuknya agama Buddha. Namun demikian ada juga kalangan yang mengatakan bahwa Ikebana sudah ada di Jepang sebelum agama Buddha berkembang di sana, saat masyarakat Jepang masih menggunakan bunga dan tumbuhan segar untuk menghormati dewa penguasa alam, hal yang kelak menjadi inti dari ajaran Ikebana. Apa pun kebenaran teori ini kedekatan hubungan masyarakat Jepang dengan alam jelas terlihat dalam tulisan-tulisan seputar Jepang di masa awal.

Rangkaian Ikebana diketahui sudah mulai tampak di masa Muromachi [akhir abad 14-pertengahan abad 16]. Di masa tersebut, berbagai hal lahir dan dipandang sebagai seni tradisional Jepang dengan pakem-pakem keindahan tersendiri. Gaya shoin pada arsitektur tempat tinggal, upacara minum teh, Ikebana, pertunjukan Noh, desain taman dan puisi berirama yang semua berawal di masa Muromachi.

Namun demikian seluruhnya ini bukan budaya pop spontan. Daimyo dan shogun, penguasa feodal dan para jenderal memberikan tanggung jawab dan teknik estetika kepada para doboshu [kelompok seniman]. Beberapa doboshu berkonsentrasi pada kegiatan merangkai bunga serta melahirkan sebuah gaya dasar, yakni dahan yang berdiri di tengah vas dan dikenal dengan istilah Tatebana. Sejak itu mulai bermunculanlah para master perangkai bunga. Ikenobo Senkei seorang pendeta di Rokkakudo, Kyoto adalah seorang tokoh yang paling berpengaruh. Gaya tatebananya dikembangkan dan disebarluaskan oleh Ikenobo Senno dan Ikenobo Sen’e, di antara kelas samurai dan aristokrat seiring dengan perkembangan seni upacara minum teh yang membutuhkan keseriusan. Sejak periode Azuchi Momoyama hingga periode Edo, Ikebana merupakan seni hidup yang berubah sesuai waktu di sisi baik maupun buruknya.

Pada periode Edo, Ikebana diwujudkan dalam bentuk yang paling serius. Senno kikyuu Rikkyu mengaplikasikan Tatebana yang menjadi gaya Ikenobo dalam chabana [rangkaian bunga sederhana untuk ruang teh] yang melompat dari kelas tentara samurai warrior ke kelas pedagang dan kota masyarakat kota dan merubah namanya menjadi Rikka. Namun, pada perkembangannya, semangat kreatifitas Rikka semakin pudar dan efek geometrisnya hilang dalam komplikasi dekoratif, menjadi simbol gaya berkelas Seika atau Shoka. Seika didasrkan pada struktur kerja tri-ngular, ten-chi-jin, jo-ha-kyu atau shin-gyo-so; yang merupakan cara berbeda dari ungkapan surga-bumi-manusia. Banyak sekolah baru dibuka untuk mengajarkan gaya baru Seika dan sistem Iemoto pun dimulai.

Seiring dengan periode modernisasi Meiji, Ikebana turut dimanfaatkan. Pemerintah Meiji, bagaimana pun juga telah berkomitmen untuk mengajari para wanita dan belakangan menetapkannya sebagai latihan untuk menjadikan wanita sebagai “isteri yang baik dan ibu yang bijaksana”. Pemerintah secara jelas menetapkan bahwa sebagai bagian dari formasi karakter ini, Ikebana yang pernah menjadi bentuk seni kaum lelaki sejak itu menjadi standar bagian pendidikan wanita. Keputusan ini mengembangkan dasar kelahiran kembali Ikebana dan juga pada suatu generasi, membuatnya melampaui kegiatan kaum lelaki dan terbuka bagi wanita walaupun pada saat itu wanita terlarang secara hukum untuk mengembangkan apa pun. Di akhir abad ke-19, ketika masyarakat mulai bercocok tanam ala barat, Ohara Unshin mempopulerkan gaya Moribana yang digunakan untuk bunga-bunga dari barat dari barat dalam rangkaian Ikebana.

Dalam hal ini, Ikebana dan lingkup budayanya telah mewarnai sejarah Jepang.



Disarikan dari berbagai sumber:
Diana S. Nugroho
__
Sumber: NUANSA
The Japan Foundation Jakarta
Edisi Januari-Februari-Maret 2009








Asal muasal dari Ikebana adalah Ikenobo yang bermula dari kuil Rokka Kudo di Kyoto, Jepang. Kuil ini dibangun oleh Pangeran Shotoku lebih dari 500 tahun lalu. Oleh sebab itu Ikenobo disebut sebagai “The Origin of Ikebana”

Dalam perkembangan selanjutnya lahirlah aliran-aliran lain selain Ikenobo. Hingga sekarang kantor pusat Ikebana Ikenobo tetap berada di kompleks kuil Rokka Kudo. Sejarah Ikebana Ikenobo berpedoman pada paham tradisional maupun modern, yang secara berkesinambungan saling menunjang menuju perkembangan zaman.

Dalam Ikebana Ikenobo dipahami bahwa setiap kuncup, bunga, tangkai atau daun bukan saja indah dipandang tetapi juga merefleksikan suatu filosofi dalam rangkaian di samping perasaan dan semangat si perangkai.

Dari tumbuhan yang diam dan statis kreatifitas akan terlahir melalui bentuk [form]. Bentuk yang tercipta dari setiap tancapan rangkaian akan menghadirkan unsur ruang [space]. Jarak di antara setiap tancapan mampu mengesankan suatu gerakan [movement] yang menjadikan tanaman tersebut tidak lagi diam dan statis tetapi merupakan suatu kesatuan rangkaian yang memiliki gerakan atau kehidupan. Bentuk yang tercipta itulah yang disebut IKEBANA.

Ikebana Ikenobo menjadi unik melalui pemanfaatan ‘ruang [space]. Ia menekankan keindahan pembentukan ruang sederhana dengan memadukan bahan dengan warna yang serasi dan menyenangkan. Rangkaian Ikenobo menggunakan tumbuhan seperti kuncup bunga, daun dan ranting. Suatu kuncup bunga bisa menjadi sangat indah karena pada kuncup tersebut terkandung filosofi suatu energi kehidupan baru atau harapan yang senantiasa menuju perkembangan ke masa yang akaan datang [future]. Karena setiap kehidupan akan mengalami keadaan yang berubah-ubah menurut kurun waktu, masa lalu-masa sekarang-masa yang akan datang [past-present-future].

Di samping itu rangkaian Ikebana Ikenobo juga menekankan kekuatan alam dimana tumbuhan tersebut tumbuh harmonis di lingkungannya. Misalnya mengapresiasikan keindahan bentuk tekukan dahan/ranting yang terbentuk karena terpaan angin atau daun-daunan yang karena keadaan alam mulai menguning bahkan rusak akibat gigitan serangga bisa tampak indah dan alami.

Tumbuhan dan manusia merupakan bagian penting dari alam. Rangkaian Ikebana Ikenobo mengekspresikan interaksi ini dengan kesadaran akan alam dan lingkungan.
Rangkaian Ikebana Ikenobo yang mengusung unsur alam, kehidupan dan semangat seni tersebar tidak hanya di Jepang tetapi ke seluruh dunia dengan harapan bahwa keindahan rangkaian Ikebana Ikenobo dapat menjadi pengikat persahabatan antar sesama insan.
Rangkaian Ikebana Ikenobo mempunyai 3 jenis rangkaian dasar yaitu RIKKA, SHOKA, FREE STYLE.

RIKKA
Rikka mula-mula dikenal pada abad 16, disempurnakan oleh Headmaster Ikenobo Senko II pada abad 17. Rangkaian dasar ini juga dikenal dengan sebutan ‘tatehana’ atau rangkaian yang berdiri. Dasar inilah yang kemudian menjadi sumber dari gaya rangkaian rikka. Rikka tradisionil dengan sebutan rikka shofutai sedangkan rikka gaya baru juga dikenal sebagai rikka shinputai.

Rikka dirangkai memakai bahan yang mempunyai sifat kontras sekaligus harmonis, mengekspresikan keindahan pemandangan secara alami. Rangkaian rikka ini mempunyai prinsip aturan-aturan dasar yang disiplin, tetapi dibalik batas-batas tertentu dengan penghayatan dan ketekunan maka rangkaian tersebut dapat berkembang secara individual dengan penuh daya cipta yang mengagumkan mengikuti kebutuhan sesuai dengan keadaan suatu masa.


SHOKA
Shoka berasal dari rangkaian Ikebana yang sederhana dan diciptakan pada abad 18. Pada abad 19 rangkaian ini disempurnakan oleh Headmaster Senjo Ikenobo.
Shoka shofutai mempunyai tiga cabang utama yaitu shin, soe dan tai. Rangkaian shoka yaitu rangkaian yang mengekspresikan fenomena kehidupan tambahan secara alami yang bisa kita nikmati. Tangkai shoka yang menjulang tinggi secara luwes dari permukaan air dalam wadah yang disebut mizugiwa, memberikan kesan kehidupan melalui tangkai, daun dan bunga.

Shoka shinputai adalah shoka gaya baru yang diciptakan dari pengembangan shoka shofutai yang berkesan lebih moderen diciptakan oleh Headmaster yang sekarang yaitu: Sen ‘ei Ikenobo shoka shofutai ini mempunyai dua cabang utama shu dan yo.

Seluruh rangkaian dasar ini saling menunjang secara kontras sekaligus harmonis, cabang ketiga yang disebut ashirai dipakai sebagai pelengkap.


FREE STYLE
Free Style tergolong gaya rangkaian ikebana yang diciptakan dalam era baru, dilihat dari sejarah pengembangan ikebana secara tradisi yang panjang. Free Style ini dibagi menjadi dua kategori yaitu rangkaian yang dirangkai secara alami dan rangkaian yang dirangkai secara abstrak.

Dalam rangkaian Free Style ini bunga bisa dirangkai dengan sudut pandang baru. Si perangkai bebas mengekspresikan kreatifitas apa yang diinginkan, bagaimana si perangkai mengungkapkan imajinasi perasaan indahnya suatu materi atau dari sudut pandang mana yang akan ditonjolkan. Rangkaian jiyuka ini mempunyai kemungkinan-kemungkinan yang sangat luas dan tidak ada batasannya, berkembang terus sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan zaman.


SEKILAS IKEBANA IKENOBO DI INDONESIA
Pada era tahun enam puluhan terasa sulit bagi pecinta Ikebana untuk mendapatkan ilmu cara merangkai bunga Ikebana yang baik dan benar, kecuali informasi yang didapatkan dari buku-buku atau pun dari mereka yang berinisiatif melakukan koresponden dengan cabang-cabang Ikebana di luar negeri.

Beruntung pada tahun 1978, Kedutaan Besar Jepang bagian kebudayaan berkenan mengadakan kursus bagi pecinta merangkai bunga di Jakarta. Secara kebetulan saat itu yang diajarkan adalah Ikebana aliran Ikenobo.

Kemudian pada tahun 1979, Pusat Kebudayaan Jepang mengadakan kursus pertama, yang juga secara kebetulan juga gaya Ikenobo. Para pengikut kursus Ikenobo ini menggabungkan diri dalam suatu wadah yaitu Ikenobo Study Group yang berdiri bersama di bawah bimbingan Tamiko Nakakoshi sensei.

Pada tanggal 25 November 1980, Ikenobo Study Group Indonesia dikokohkan sebagai cabang ke-69 di luar Negara Jepang dan cabang Ikenobo pertama se-Asia Tenggara.

Dalam kurun waktu 29 tahun ini sudah tidak terbilang jumlah anggota yang bergabung. Kegiatan kerap diisi dengan demo, kursus bahkan sering kali anggota berkunjung ke pusat Ikenobo di Kyoto Jepang, untuk menimba ilmu langsung dari para pakar yang sangat profesional.

Saat ini Ikenobo juga sudah ada di Bandung, Semarang, Surabaya. Mudah-mudahan Ikenobo dapat semakin melebarkan sayap ke seantero tanah air di masa mendatang.

Di Jakarta sendiri terdapat tempat-tempat kursus dimana para pelatihnya adalah guru-guru yang telah memiliki sertifikat dari Kyoto. Indonesia kaya dengan beraneka ragam flora, akan sangat indah tentunya bila kita dapat memanfaatkan bahan yang ada di sini menggunakan seni yang tinggi dari pusat Ikenobo-Jepang.

Semoga di masa-masa yang akan datang semakin banyak peserta Ikebana khususnya Ikenobo di Indonesia.

Gus Apan
[President Chapter]


--
Sumber : NUANSA
The Japan Foundation, Jakarta
Edisi Oktober-November-Desember 2009

0 komentar:

Posting Komentar

Delete this element to display blogger navbar