Rabu, 22 Juli 2009

Harry Potter and The Half-Blood Prince

Kurang dari seminggu yang lalu film seri keenam HARRY POTTER yang berjudul Harry Potter and The Half-Blood Prince telah tayang dibanyak bioskop. Memank saat ini dunia bioskop telah kembali hadir ditengah-tengah kita kembali setelah beberapa saat "menghilang" dari kehidupan masyarakat Indonesia.

Mungkin bagi sebagian orang isi dari cerita itu masih biasa-biasa saja karena memank cerita Harry Potter memank seperti itu. Akan tetapi, banyak penggemarnya yang sangat kagum dengan film terbaru dari Harry Potter.

Film yang disutradarai oleh David Yates serta diproduksi oleh Warner Bros. Pictures ini tergolong film tersukses pada tahun ini. Hal ini bisa dilihat saat antrean pembelian tiketnya di bioskop. Bahkan teman saya berani antre dari pagi jam 8 untuk mendapatkan tiketnya.

Berikut sinopsisnya...

Voldemort menguasai dunia Muggle dan penyihir, Hogwarts tak lagi aman. Harry menduga bahaya juga mengancam puri, namun Dumbledore lebih intens mempersiapkan dirinya untuk pertempuran terakhir yang segera tiba. Bersama-sama mereka mencari cara untuk meruntuhkan pertahanan Voldemort, dan untuk hal ini, Dumbledore merekrut teman lamanya Professor Horace Slughorn, yang ia yakini mengetahui banyak informasi penting

Sementara itu, Harry tertarik pada Ginny, begitu juga dengan Dean Thomas. Lavender Brown memutuskan Ron menjadi kekasihnya. Hermione, penuh dengan rasa cemburu namun tidak dapat menentukan isi hatinya. Saat romantisme merebak, salah satu murid memilih tetap sendiri. Ia memilih jalan hitam. Meski banyak cinta namun tragedi di depan mata dan Hogwarts tak akan sama.

Bagi teman-teman yang berkeinginan untuk melihat dirumah, bisa di download di www.indowebster.com yaitu

Pesan saya marilah kita ambil sisi positif dari setiap kejadian yang ada. Selamat menikmati...

Jumat, 17 Juli 2009

Surat Edaran Insentif PPh pasal 21

Pemerintah dinilai lambat dalam menerbitkan aturan penegasan perihal pemberian fasilitas insentif PPh Pasal 21 ditanggung pemerintah (DTP), yang mengakibatkan pemanfaat fasilitas tersebut menjadi minim. "Penerbitan SE itu memang dirasakan terlambat. Tapi, ini tetap merupakan langkah yang baik dan menunjukkan keseriusan Ditjen Pajak agar fasilitas tersebut dapat dimanfaatkan oleh pekerja," kata Vaudy Starworld, praktisi pajak dari kantor konsultan pajak Vaudy Starworld, kemarin.

Selain karena kurang efektifnya sosialisasi dari Ditjen Pajak, menurutnya, ada faktor ketakutan dari perusahaan untuk memanfaatkan fasilitas itu bagi karyawannya.

Alasannya, jelasnya, perusahaan khawatir banyak pekerja yang akan protes karena seolah-olah gaji mereka berkurang pada masa Desember 2009 atau tidak adanya kenaikan/kenaikan yang kecil pada Januari 2010. Ini disebabkan oleh ketidaktahuan karyawan atas fasilitas yang tidak ber-laku lagi setelah perusahaan menggunakan insentif PPh 21 DTP.

"Hal ini tentunya akan membuat perusahaan kalang kabut menjelaskan bahwa pada 2009 terdapat fasilitas PPh 21 DTP," ujarnya.

Untuk itu, lanjutnya, salah satu solusi yang harus dilakukan Ditjen Pajak adalah petugas account representative/AR dari Ditjen Pajak harus proaktif masuk ke perusahaan dan menje-laskan ke serikat pekerja perihal adanya insentif PPh 21 DTP.

"Tapi (angan lupa, AR juga harus menjelaskan setelah fasilitas ini tidak berlaku, maka tetap akan terjadi pengurangan gaji yang disebabkan PPh Pasal 21 tersebut kini ditanggung setiap pekerja."

Sebelumnya, Dirjen Pajak Darmin Nasution menerbitkan SE tertanggal 7 Juli 2009 No. 64/PJ/2009 tentang Pekerja Yang Memperoleh PPh pasal 21 DTP, Dirjen Pajak menginstruksikan kepada para kepala kantor pelayanan pajak untuk melakukan sosialisasi besar-besaran kepada serikat pekerja, dinas tenaga kerja, dan asosiasi pekerja mengenai fasilitas PPh Pasal 21 DTP.

Sumber : Bisnis Indonesia

Senin, 13 Juli 2009

Fenomena Insentif Pajak

Pemberian stimulus insentif PPh 21 ini melibatkan banyak pihak, mulai Pemerintah sebagai pemangku kebijakan, perusahaan sebagai pemberi pekeijaan, dan karyawan. Ketiga elemen itu harus bersinergi supaya bisa menyerap stimulus pajak ini sesuai target. Pemerintah tidak cukup melakukan sosialisasi soal insentif ini. Tetapi, pemerintah juga perlu mengimbau para pemberi kerja agar mau mengurus administrasi pajak karyawannya Sebab, menurut saya, masalah penyerapan rendah ini tergantung kembali kepada pemberi kerja apakah mereka mau mengurus administrasi pajak karyawannya? Sebab, kebanyakan para pemberi kerja masih sulit mengerjakan administrasi pajak meskipun mereka itu bisa memanfaatkan fasilitas tersebut.

Padahal, sebetulnya pemberi kerja juga diuntungkan dengan adanya kebijakan stimulus ini. Biasanya, untuk menaikkan take home pay karyawan, perusahaan harus menaikkan gaji karyawannya. Dalam keadaan yang sulit seperti ini, sebagian pemberi kerja sulit menaikkan gaji.

Nah, perusahaan bisa memanfaatkan insentif ini untuk menambah pendapatan karyawannya, tanpa menaikkan gaji karyawan. Pastinya jika ini terwujud, pengusaha akan senang, kebijakan pemerintah bisa terealisasi, dan karyawan menerima insentif.

Selain pemberi kerja, yang harus diperhatikan agar insentif ini terserap adalah public aivaniess. Karyawan ha-rus tahu bahwa ada kebijakan ini dan mereka bisa memanfaatkannya Jumlah insentif dari Pemerintah ini, saya rasa cukup mencukupi dan sesuai kebutuhan karyawan.

Sayang jika kebijakan insentif yang diberikan oleh Pemerintah ini tidak dimanfaatkan secara maksimal. Apalagi, Pemerintah sudah menyediakan anggaran cukup besar untuk ini. Jika tidak dimanfaatkan dengan baik, otomatis, sia-sia anggaran untuk insentif pajak tersebut.
Sumber : Harian Kontan

Minggu, 12 Juli 2009

Pendaftaran USM STAN 2009

Untuk memberikan kesempatan kepada calon pendaftar Ujian Saringan Masuk (USM) Prodip I dan III Keuangan Sekolah Tinggi Akuntansi Negara Tahun Akademik 2009/2010 yang mengalami kesulitan dalam melakukan e-registrasi, dengan ini diberitahukan bahwa pendaftaran dapat dilakukan pula secara langsung ke lokasi-lokasi pendaftaran yang telah ditetapkan sebelumnya mulai 7 juli s.d. 17 juli 2009.

Pembayaran USM STAN tersebut juga dapat dilakukan hingga tanggal 17 Juli 2009 ditujukan ke rekening Bendahara Administrasi BLU STAN pada Bank Mandiri Cabang Bintaro Jakarta dengan nomor rekening: 128-00-0554888-5.

Tatacara, syarat, dan tempat pendaftaran dapat dilihat pada pengumuman berikut ini: pengumuman pendaftaran usm stan secara langsung.

Adapun formulir pendaftaran secara langsung/manual dapat diunduh disini (Formulir Pendaftaran USM STAN 2009/2010).

Sabtu, 11 Juli 2009

P3B Indonesia_Jepang

PERSETUJUAN ANTARA
PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH JEPANG TENTANG PENGHINDARAN
PAJAK BERGANDA DAN PENCEGAHAN PENGELAKAN PAJAK
YANG BERHUBUNGAN DENGAN PAJAK-PAJAK ATAS PENDAPATAN

Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Jepang,
Berhasrat untuk mengadakan suatu Persetujuan mengenai penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak yang berhubungan dengan pajak-pajak atas pendapatan.
Telah mufakat sebagai berikut.
Pasal 1
Persetujuan ini berlaku terhadap orang-orang dan badan-badan yang merupakan penduduk salah satu atau kedua Negara yang terkait Persetujuan.
Pasal 2
Pajak-pajak yang tunduk dalam Persetujuan ini adalah:
1. (a) di Indonesia
(i) Pajak Pendapatan
dan
(ii) Pajak Perseroan
termasuk setiap pajak yang dipungut pada sumbernya, pembayaran dimuka atau pembayaran terlebih dahulu terhadap pajak-pajak tersebut diatas;
(iii) Pajak atas Bunga, Dividen dan Royalti
(selanjutnya disebut pajak Indonesia);
(b) di Jepang
(i) Pajak Pendapatan (the income tax); dan
(ii) Pajak Perseroan (the corporation tax)
(selanjutnya disebut pajak Jepang).
2. Persetujuan ini berlaku pula terhadap semua pajak yang serupa atau pada hakekatnya sama yang dikenakan setelah tanggal penandatanganan Persetujuan ini sebagai tambahan terhadap ataupun sebagai pangganti dari pajak-pajak tersebut pada ayat 1.
Pejabat-Pejabat yang berwenang dari Negara yang terkait Persetujuan ini akan memberitahukan satu sama lain setiap perubahan-perubahan yang telah diadakan dalam perundang-undangan pajak masing-masing dalam jangka waktu yang layak setelah terjadinya perubahan-perubahan tersebut.
Pasal 3
1. Kecuali jika hubungan kalimat harus diartikan lain, maka yang dimaksud dalam Persetujuan ini dengan :
(a) istilah Indonesia meliputi wilayah Republik Indonesia seperti dirumuskan di dalam undang-undangnya dan bagian-bagian dari landas kontinen dan lautan sekitarnya yang berbatasan, dimana Republik Indonesia mempunyai kedaulatan, hak-hak kedaulatan atau hak-hak lainnya sesuai dengan hukum international;
(b) istilah Jepang, jika dipergunakan dalam pengertian ilmu bumi, berarti seluruh wilayah Jepang, termasuk wilayah laut, dimana perundang-undangan pajak Jepang berlaku, dan seluruh wilayah diluar wilayah laut, termasuk dasar laut dan lapisan tanah sebelah bawah dimana Jepang mempunyai hak hukum sesuai dengan hukum internasional dan dimana perundang-undangan pajak Jepang berlaku.
(c) istilah suatu negara yang terikat Persetujuan dan suatu Negara lainnya yang terikat Persetujuan berarti Indonesia atau Jepang, menurut hubungan kalimatnya;
(d) istilah pajak berarti pajak Indonesia atau pajak Jepang, menurut hubungan kalimatnya;
(e) istilah orang meliputi orang pribadi, perseroan dan setiap gabungan lain dari orang orang atau badan-badan;
(f) istilah perseroan berarti setiap badan hukum atau setiap kesatuan yang untuk tujuan perpajakan diperlukan sebagai badan hukum;
(g) Istilah-istilah Perusahaan dari suatu Negara yang terikat Persetujuan dan perusahaan dari Negara lainnya yang terikat Persetujuan berarti, berturut-turut suatu perusahaan yang dijalankan oleh penduduk dari suatu Negara yang terikat Persetujuan dan suatu perusahaan yang dijalankan oleh penduduk dari Negara lainnya yang terikat persetujuan;
(h) istilah warganegara berarti semua orang pribadi yang memiliki warganegara dari salah satu Negara dan semua badan hukum yang didirikan atau diatur menurut undang-undang Negara itu dan semua perkumpulan yang untuk tujuan perpajakan dari Negara itu dianggap sebagai badan hukum yang didirikan atau diatur menurut undang-undang dari Negara tersebut;
(i) istilah lalu lintas international berarti setiap pengakuan oleh kapal laut atau pesawat udara yang dilakukan oleh perusahaan dari suatu Negara, kecuali apabila kapal laut atau pesawat udara tersebut semata-mata dioperasikan antara tempat-tempat di Negara lainnya;
(j) istilah Pejabat yang berwenang sehubungan dengan Persetujuan ini berarti Menteri Keuangan dari masing-masing Negara atau wakilnya yang syah.
2. Untuk penerapan persetujuan ini oleh suatu Negara, istilah-istilah yang tidak dirumuskan, kecuali dari hubungan kalimatnya harus diartikan lain, akan mempunyai arti menurut perundang-undangan Negara itu menyangkut pajak-pajak yang berlaku dalam Persetujuan ini.
Pasal 4
1. Untuk kepentingan persetujuan ini, istilah penduduk dari suatu negara berarti setiap orang atau badan yang menurut perundang-undangan Negara itu dapat dikenakan pajak berdasarkan tempat tinggal, tempat kediaman, kantor pusat atau kantor besar, tempat ketatalaksanaan atau patokan lainnya yang serupa.
2. Jika berdasarkan ketentuan ayat 1, seseorang atau suatu badan merupakan penduduk dari kedua Negara, maka untuk tujuan persetujuan ini pejabat yang berwenang dari masing-masing Negara, berdasarkan permufakatan kedua belah pihak akan menentukan tempat kedudukan seseorang atau badan tersebut.
Pasal 5
1. Untuk tujuan Persetujuan ini, istilah pendirian tetap berarti suatu tempat usaha tertentu dimana seluruh atau sebagian usaha suatu perusahaan dijalankan.
2. Istilah pendirian tetap terutama meliputi :
(a) suatu tempat ketatalaksanaan;
(b) suatu cabang;
(c) suatu kantor;
(d) suatu pabrik;
(e) suatu tempat kerja;
(f) suatu pertanian atau perkebunan;
(g) suatu pertambangan, suatu sumur minyak atau gas, suatu tempat penggalian atau tempat lainnya untuk pengembalian sumber kekayaan alam.
3. Suatu lokasi bangunan atau tempat pekerjaan konstruksi atau proyek instalasi merupakan suatu pendirian tetap jika kegiatannya berlangsung lebih dari enam bulan.
4. Istilah pendirian tetap tidak dianggap termasuk :
(a) penggunaan fasilitas-fasilitas semata-mata dengan maksud untuk menyimpan atau memamerkan barang-barang atau barang dagangan kepunyaan perusahaan;
(b) pengurusan suatu persediaan barang-barang atau barang dagangan kepunyaan perusahaan semata-mata dengan maksud untuk penyimpanan atau untuk pameran.
(c) pengurusan suatu persediaan barang-barang atau barang dagangan kepunyaan perusahaan semata-mata dengan maksud untuk diolah oleh perusahaan lain;
(d) pengurusan suatu tempat usaha tertentu semata-mata maksud untuk melakukan pembelian barang-barang atau barang dagangan atau untuk pengumpulan keterangan bagi keperluan perusahaan.
(e) pengurusan suatu tempat usaha tertentu semata-mata dengan maksud untuk keperluan reklame, untuk pemberian keterangan-keterangan, untuk penelitian ilmiah atau kegiatan kegiatan serupa yang bersifat persiapan atau penunjang bagi perusahaan.
(f) pengurusan tempat usaha tertentu semata-mata untuk setiap kegiatan-kegiatan gabungan dari yang disebut dalam sub ayat (a) sampai (c), asal saja keseluruhan kegiatan ditempat usaha tertentu itu bersifat persiapan atau penunjang.
5. Perusahaan dari suatu Negara akan dianggap mempunyai pendirian tetap di Negara lainnya apabila perusahaan tersebut memberikan jasa konsultan atau jasa pengawasan sehubungan dengan pendirian bangunan, konstruksi atau proyek instalasi melalui pekerja-pekerja atau pegawai lainnya kecuali oleh agen yang berdiri sendiri dimana ketentuan ayat 8 berlaku dimana kegiatan-kegiatan itu berlangsung (untuk dua atau lebih proyek yang sama atau yang berhubungan) dalam jangka waktu lebih dari 6 bulan dalam suatu tahun pajak.
Namun apabila pemberian jasa-jasa tersebut dilakukan sebagai akibat adanya perjanjian antara kedua Negara yang menyangkut kerjasama ekonomi atau tehnik, maka perusahaan tersebut tidak dianggap mempunyai pendirian tetap di Negara lain tersebut.
6. Orang atau badan disuatu Negara (kecuali agen yang berdiri sendiri, dimana ketentuan ayat 8 berlaku) yang bertindak untuk kepentingan suatu perusahaan dari Negara lain, maka perusahaan itu akan dianggap mempunyai pendirian tetap di Negara itu sehubungan dengan kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk perusahaan tersebut, apabila:
(a) orang atau badan untuk memiliki kuasa untuk menutup kontrak atas nama perusahaan dan biasa menjalankan kuasa itu di Negara tersebut kecuali bila kegiatan-kegiatan yang dilakukan terbatas pada yang disebut dalam ayat 4, atau
(b) orang atau badan itu mengurus di Negara tersebut persediaan barang-barang atau barang kepunyaan perusahaan, dimana ia secara teratur memenuhi pesanan-pesanan atau nama perusahaan dimaksud.
7. Perusahaan asuransi di salah satu Negara akan dianggap mempunyai pendirian tetap di Negara apabila perusahaan tersebut memungut premi atau menanggung risiko yang terjadi di Negara itu melalui seorang pegawai atau perwakilan yang bukan merupakan agen yang berdiri sendiri dalam arti menurut ayat 8.
Ketentuan ini tidak berlaku terhadap reasuransi.
8. Suatu perusahaan dari suatu Negara tidak dianggap mempunyai pendirian tetap di Negara lain hanya karena menjalankan usaha di Negara lain tersebut melalui makelar, komisioner umum atau agen lainnya yang berdiri sendiri, sepanjang mereka bertindak dalam rangka usahanya yang lazim.
9. Kenyataan bahwa badan yang berkedudukan di suatu Negara menguasai atau dikuasai badan yang berkedudukan di Negara lain, atau menjalankan usaha di Negara lain itu (baik melalui suatu pendirian tetap atau tidak), tidak dengan sendirinya bahwa salah satu dari badan itu merupakan suatu pendirian tetap dari yang lainnya.
Pasal 6
1. Pendapatan yang diterima oleh seorang penduduk suatu Negara yang berasal dari harta tak gerak dapat dikenakan pajak di Negara dimana harta itu berada.
2. Istilah harta tak gerak akan diartikan sesuai dengan Undang-undang Negara yang terikat Persetujuan, dimana harta yang bersangkutan berada. Bagaimanapun istilah ini akan termasuk benda-benda yang menyertai harta tak gerak, ternak dan peralatan yang digunakan dalam pertanian dan kehutanan, hak-hak yang diberlakukan terhadap ketentuan-ketentuan hukum umum mengenai tanah, hak memetik hasil dari harta tak gerak dan hak-hak terhadap macam macam pembayaran-pembayaran atau pembayaran-pembayaran yang ditetapkan sebagai alasan atau pekerjaan, atau hak mengerjakan, penggalian-penggalian tambang, sumber-sumber dan sumber kekayaan alam lainnya; kapal-kapal, perahu-perahu dan pesawat udara tidak akan dianggap sebagai harta tak gerak.
3. Ketentuan-ketentuan ayat 1 akan berlaku untuk pendapatan yang diperoleh dan penggunaan langsung sewa atau setiap bentuk penggunaan lainnya dan harta tak gerak.
4. Ketentuan-ketentuan dari ayat 1 dan 3 juga akan berlaku bagi pendapatan dan harta tak gerak suatu perusahaan dan bagi pendapatan dari harta tak gerak yang digunakan untuk pelaksanaan jasa-jasa profesi.
Pasal 7
1. Laba perusahaan disuatu Negara hanya akan dikenakan pajak di Negara itu kecuali perusahaan itu menjalankan usahannya di Negara lainnya, melalui suatu pendirian tetap yang berkedudukan disitu.
Jika perusahaan menjalankan usahannya seperti yang dikatakan sebelumnya, laba dari perusahaan itu bisa dikenakan pajak di Negara lain itu, tetapi hanya mengenai bagian laba yang dianggap berasal dari pendirian tetap tersebut.
2. Mengikuti ketentuan-ketentuan pada ayat 3, jika suatu perusahaan dari suatu Negara menjalankan usahannya di Negara lain melalui suatu pendirian tetap yang berkedudukan disitu, masing-masing Negara akan memperhitungkan laba pendirian tetap itu sama dengan laba seandainya pendirian tetap tersebut merupakan suatu perusahaan lain yang terpisah dan berdiri sendiri, yang melakukan kegiatan-kegiatan yang sama atau sejenis dalam keadaan yang sama atau serupa, dan yang mengadakan hubungan sepenuhnya bebas dengan perusahaan yang mempunyai pendirian tetap tersebut.
3. Dalam menentukan laba suatu pendirian tetap, akan diijinkan pengurangan-pengurangan seperti biaya-biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan-kepentingan pendirian tetap itu termasuk biaya untuk para pimpinan dan biaya administrasi umum, baik yang dikeluarkan di Negara tempat pendirian tetap itu berkedudukan maupun tempat lainnya.
4. Selama menjadi kebiasaan di suatu Negara untuk menetapkan laba yang diperkirakan diperoleh suatu pendirian tetap berdasarkan suatu pembagian laba dari keseluruhan laba perusahaan terhadap pelbagai bagiannya, ketentuan-ketentuan dalam ayat 2 tidak akan menutup kemungkinan bagi perusahaan di Negara itu untuk menetapkan laba yang dikenakan pajak atas suatu pembagian laba seperti itu yang mungkin merupakan kebiasaan; bagaimanapun cara penghitungan pembagian yang dianut, akan menjadikan hasilnya sesuai dengan azas-azas yang terkandung dalam pasal ini.
5. Tidak ada laba yang diperoleh suatu pendirian tetap hanya karena pembelian barang-barang atau barang-barang dagangan oleh pendirian tetap itu bagi perusahaannya.
6. Untuk kepentingan-kepentingan ayat-ayat terdahulu, laba yang diperoleh suatu pendirian tetap akan ditentukan dengan cara perhitungan yang sama dari tahun ke tahun kecuali bila ada alasan yang cukup kuat untuk melakukan penyimpangan.
7. Jika dalam jumlah laba termasuk unsur-unsur pendapatan yang diatur secara tersendiri oleh Pasal-pasal lain dari Persetujuan ini, maka ketentuan-ketentuan dalam Pasal-pasal itu tidak akan terpengaruh oleh ketentuan-ketentuan dalam Pasal ini.
Pasal 8
1. Keuntungan yang diperoleh dari pengoperasian kapal laut atau pesawat udara dalam jalur lalu lintas internasional oleh perusahaan dari suatu Negara, hanya dikenakan pajak di Negara itu.
2. Ketentuan-ketentuan ayat 1 juga berlaku bagi keuntungan yang diperoleh karena ikut serta dalam suatu gabungan perusahaan-perusahaan, suatu usaha kerjasama atau suatu keagenan usaha internasional, tetapi hanya sebesar keuntungan yang seimbang dengan penyertaan dalam usaha kerjasama itu.
Pasal 9
Apabila :
(a) suatu perusahaan dari salah satu Negara, baik secara langsung maupun tidak langsung turut serta dalam pimpinan, pengawasan atau modal suatu perusahaan dari Negara lainnya, atau
(b) orang atau badan yang sama baik secara langsung maupun tidak langsung turut serta dalam pimpinan, pengawasan atau modal suatu perusahaan dari salah satu Negara dan dalam suatu perusahaan dari Negara lainnya,
dan tiap kedua hal itu, diantara kedua perusahaan itu di dalam hubungan dagangan atau hubungan keuangannya diadakan atau diterapkan syarat-syarat yang menyimpang dari yang lazimnya terjadi diantara perusahaan-perusahaan yang bebas, maka setiap keuntungan yang seharusnya jatuh pada salah satu perusahaan, tetapi tidak diperolehnya karena adanya syarat syarat tersebut, dapat ditambahkan ke dalam laba perusahaan tersebut dan dikenakan pajak.
Pasal 10
1. Dividen yang dibayarkan oleh suatu badan yang berkedudukan di suatu Negara kepada penduduk Negara lainnya dikenakan pajak di Negara lainnya itu.
2. Namun demikian, dividen itu dapat dikenakan pajak di Negara dimana badan yang membayarkan dividen itu berkedudukan sesuai dengan perundang-undangan Negara itu, tetapi apabila sipenerima dividen adalah pemilik yang menikmatinya, maka pajak yang dikenakan tidak akan melebihi :
(a) 10 persen dari jumlah kotor dividen jika penerima dividen adalah, suatu badan yang selama 12 bulan pada akhir masa pembukuan dimana pembagian keuntungan dilakukan, memiliki sekurang-kurangnya 25 persen modal dari badan yang membayarkan dividen.
(b) 15 persen dari jumlah kotor dividen dalam hal lainnya.
Ketentuan-ketentuan dari ayat ini tidak akan mempengaruhi pengenaan pajak terhadap badan itu atas laba dimana dividen dibayarkan.
3. Istilah dividen yang digunakan dalam Pasal ini berarti pendapatan dari saham-saham atau hak-hak lainnya yang bukan merupakan surat-surat hutang namun turut serta dalam pembagian keuntungan, demikian halnya pendapatan dari hak-hak perseroan lainnya yang dalam hal pengenaan pajaknya diperlakukan sama sebagai pendapatan dari saham menurut perundang-undangan pajak Negara dimana badan yang melakukan pembayaran berkedudukan.
4. Ketentuan-ketentuan ayat 1 dan 2 tidak berlaku apabila penerima dividen yang merupakan penduduk suatu Negara, menjalankan usaha di negara lainnya dimana badan yang membayarkan dividen berkedudukan, melalui suatu pendirian tetap atau menjalankan pekerjaaan bebas dengan suatu tempat tertentu, dan penguasaan saham-saham atas nama dividen itu dibayarkan, mempunyai hubungan efektif dengan pendirian tetap atau tempat tertentu itu. Dalam hal demikian, melihat pada masalahnya, ketentuan-ketentuan Pasal 7 atau Pasal 14 berlaku.
5. Jika suatu badan yang berkedudukan disuatu Negara memperoleh keuntungan atau pendapatan dari Negara lain, Negara lain tersebut tidak akan mengenakan pajak atas dividen yang dibayarkan oleh badan itu, kecuali sepanjang dividen-dividen tersebut dibayarkan kepada penduduk Negara lain itu atau sepanjang penguasaan saham-saham atas mana dividen dibayarkan mempunyai hubungan efektif dengan suatu pendirian tetap atau tempat tertentu yang berada di Negara lain itu, juga tidak dikenakan pajak atas keuntungan-keuntungan badan yang tidak dibagikan, sekalipun dividen-dividen yang dibayarkan atau keuntungan keuntungan yang tidak dibagikan terdiri dari seluruhnya atau sebagian dari keuntungan atau pendapatan yang berasal dari Negara lain itu.
Pasal 11
1. Bunga yang berasal dari suatu Negara dan dibayarkan kepada penduduk Negara lainnya dapat dikenakan pajak di Negara lainnya tersebut.
2. Namun demikian, bunga itu dapat juga dikenakan pajak di negara tempat asal bunga sesuai dengan perundang-undangan pajak Negara itu, akan tetapi jika sipenerima bunga adalah pemilik yang menikmati bunga tersebut, maka pajak yang dikenakan tidak akan melebihi 10 persen dari jumlah kotor bunga itu.
3. Walaupun ada ketentuan-ketentuan ayat 2, bunga yang berasal dari suatu Negara diterima oleh Pemerintah Negara lainnya termasuk Pemerintah Daerah dan lokal, Bank Sentral atau setiap lembaga keuangan milik Pemerintah, atau yang diterima oleh setiap penduduk Negara sehubungan dengan surat-surat hutang yang dijamin atau secara tidak langsung dibiayai oleh Pemerintah Negara lainnya itu termasuk Pemerintah Daerah dan lokal, Bank Sentral atau Lembaga keuangan milik Pemerintah, akan dibebaskan dari Pengenaan pajak oleh negara tersebut terdahulu.
4. Untuk tujuan-tujuan ayat 3, istilah-istilah Bank Sentral dan Lembaga keuangan milik Pemerintah berarti
(a) Untuk Jepang.
(i) the Bank of Japan,
(ii) the Export Import Bank of Japan,
(iii) the Japan International Cooperation Fund,
(iv) lembaga keuangan lainnya yang modalnya milik Pemerintah Jepang yang dimufakati dari waktu kewaktu antara kedua Negara.
(b) untuk Indonesia
(i) Bank Indonesia dan
(ii) lembaga keuangan lainnya yang modalnya milik Pemerintah Republik Indonesia yang dimufakati dari waktu kewaktu antara kedua Negara.
5. Istilah bunga yang digunakan dalam Pasal ini berarti Pendapatan dari semua jenis tagihan hutang, baik yang dijamin dengan hipotik maupun tidak dan baik yang berhak ikut serta dalam bagian keuntungan sipeminjam atau tidak, dan khususnya pendapatan dari surat-surat hutang, termasuk premi dan hadiah yang terikat pada surat-surat perbendaharaan Negara, obligasi atau surat-surat hutang tersebut diatas.
6. Ketentuan-ketentuan ayat 1 dan 2 tidak berlaku apabila penerima bunga yang merupakan penduduk suatu Negara, melakukan usaha di Negara lainnya dimana bunga itu berasal, melalui suatu pendirian tetap atau menjalankan pekerjaan bebas dengan tempat tertentu dan tagihan hutang sehubungan dengan mana bunga itu dibayar mempunyai hubungan efektif dengan pendirian tetap atau tempat tertentu itu.
Dalam hal demikian, melihat pada masalahnya, berlaku ketentuan-ketentuan Pasal 7 atau Pasal 14.
7. Bunga akan dianggap berasal dari suatu Negara, jika yang membayar bunga adalah Negara itu sendiri, Pemerintah Daerah/Lokal atau penduduk dari Negara tersebut, namun demikian, orang atau badan yang membayar bunga, tanpa memandang apakah ia merupakan penduduk suatu Negara atau tidak, memiliki suatu pendirian tetap disuatu Negara atau suatu tempat tertentu dalam hubungan mana hutang yang menjadi pokok pembayaran bunga itu dan bunga itu dibebaskan pada pendirian tetap atau tempat tertentu tersebut., maka bunga itu akan dianggap berasal dari Negara dimana pendirian tetap atau tempat tertentu itu berada.
8. Apabila, karena adanya suatu hubungan istimewa antara pembayar bunga dengan penerima bunga atau antara keduanya dengan pihak ketiga, besarnya jumlah bunga yang dibayarkan, dengan memperhatikan besarnya tagihan hutang yang menjadi pokok pembayaran itu, melebihi jumlah yang seharusnya disepakati oleh pembayar dan penerima bunga seandainya tidak ada hubungan istimewa semacam itu, maka keuntungan-keuntungan Pasal ini akan berlaku hanya terhadap jumlah bunga yang disebut terakhir.
Dalam hal ini, jumlah pembayaran selebihnya akan tetap dikenakan pajak menurut perundang undangan masing-masing Negara, dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan lainnya dalam persetujuan ini.
Pasal 12
1. Royalti yang berasal dari suatu Negara dan dibayarkan kepada penduduk Negara lainnya, dikenakan pajak di Negara lainnya itu.
2. Namun demikian, royalti tersebut dapat juga dikenakan pajak di Negara dimana royalti itu berasal, sesuai dengan perundang-undangan Negara itu, tetapi apabila sipenerima adalah pemilik royalti yang menikmatinya, pajak yang dikenakan tidak akan melebihi 10 persen dan jumlah kotor royalti.
3. Istilah royalti yang digunakan dalam Pasal ini berarti segala bentuk pembayaran yang diterima sebagai balas jasa atas penggunaan, atau hak menggunakan setiap hak cipta kesusasteraan, kesenian atau karya ilmiah termasuk film-sinematografi dan film atau pita-pita untuk siaran radio atau televisi, paten, merek dagang, pola atau model, rencana, rumus rahasia atau pengolahan, atau penggunaan atau hak menggunakan perlengkapan-perlengkapan industri, perdagangan atau ilmu pengetahuan, atau untuk keterangan mengenai pengalaman dibidang industri, perdagangan atau ilmu pengetahuan.
4. Ketentuan-ketentuan ayat 1 dan 2 tidak berlaku apabila penerima royalti yang merupakan penduduk suatu Negara menjalankan usaha di Negara lainnya dimana royalti itu berasal, melalui pendirian tetap, atau melakukan pekerjaan bebas dengan suatu tempat tertentu, dan hak atau milik sehubungan dengan mana royalti itu dibayarkan, mempunyai hubungan efektif dengan pendirian tetap atau tempat tertentu itu.
Dalam hal demikian, melihat pada masalahnya, berlaku ketentuan-ketentuan Pasal 7 atau Pasal 14
5. Royalti dianggap berasal dari suatu Negara, jika pembayaran royalti itu adalah Negara itu sendiri, Pemerintah Daerah/Lokal atau penduduk Negara tersebut.
Namun demikian apabila pembayaran royalti, tanpa memandang apakah ia merupakan penduduk suatu Negara atau bukan mempunyai pendirian tetap atau tempat tertentu di Negara lain dimana kewajiban membayar royalti timbul dan royalti itu dibebankan pada pendirian tetap atau tempat tertentu itu, maka royalti itu dianggap berasal dari Negara dimana pendirian tetap atau tempat tertentu itu berada.
6. Apabila karena adanya suatu hubungan istimewa antara pembayar dan penerima royalti atau antara keduanya dengan pihak ketiga maka jumlah royalti, dengan memperhatikan penggunaan, hak dan keterangan untuk mana royalti itu dibayar melebihi jumlah yang seharusnya disepakati oleh pembayar dan penerima seandainya tidak terdapat hubungan istimewa, maka ketentuan-ketentuan pasal ini hanya akan berlaku terhadap jumlah yang disebut terakhir.
Dalam hal demikian, jumlah pembayaran selebihnya tetap dikenakan pajak menurut perundang-undangan masing-masing Negara dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan lain dalam Persetujuan ini.
Pasal 13
1. Keuntungan yang diterima oleh penduduk suatu Negara dari pemindahtanganan harta tak gerak sebagaimana disebut pada pasal 6 yang terletak di Negara lain, dapat dikenakan pajak di Negara lain itu.
2. Keuntungan dari pemindahtanganan dari harta lainnya yang bukan harta tak gerak, yang merupakan bagian kekayaan daripada suatu pendirian tetap atau pemindahtanganan harta lainnya dari suatu tempat tertentu untuk tujuan melaksanakan pekerjaan bebas di Negara lain, termasuk keuntungan dari pemindahtanganan pendirian tetap itu (tersendiri atau bersama dengan seluruh perusahaan) atau pemindahtanganan tersebut tertentu itu, dapat dikenakan pajak oleh Negara lain tersebut.
3. Keuntungan yang diterima oleh penduduk suatu Negara dari pemindahtanganan Kapal atau pesawat udara yang dioperasikan dalam jalur lalulintas internasional dan pemindahtanganan harta yang bukan harta tak gerak yang ada hubungannya dengan pengoperasian kapal atau pesawat udara, hanya akan dikenakan pajak di Negara itu.
4. Keuntungan-keuntungan dari pemindahtanganan harta lainnya yang tidak diatur dalam ayat terdahulu, hanya dikenakan pajak di Negara dimana orang/badan yang memindahtangankan merupakan penduduk/berkedudukan.
Pasal 14
1. Pendapatan yang diterima seorang penduduk suatu Negara sehubungan dengan pekerjaan bebas atau pekerjaan lain yang bersifat sama, hanya akan dikenakan pajak di Negara itu, kecuali ia mempunyai tempat tertentu yang secara teratur dipergunakan untuk melakukan pekerjaannya di Negara lain atau ia berada di Negara lain itu untuk suatu masa atau masa masa yang tidak melebihi jumlah 183 hari dalam suatu tahun takwim, apabila ia mempunyai tempat tertentu atau tinggal di Negara lain seperti disebut diatas, maka pendapatannya dikenakan pajak di Negara lain itu, tetapi hanya bagian pendapatan yang dianggap berasal dari tempat tertentu itu atau pendapatan yang diterima selama masa ia berada di Negara lain tersebut.
2. Istilah pekerjaan bebas meliputi terutama, pekerjaan bebas dibidang ilmu pengetahuan, kesusastraan, kesenian pendidikan atau pengajaran demikian pula pekerjaan bebas yang dilakukan oleh dokter, ahli hukum, ahli tehnik, arsitek, dokter gigi dan akuntan.
Pasal 15
1. Tunduk pada ketentuan-ketentuan Pasal 16, 18, 19, 20 dan 21, gaji upah dan jasa lainnya yang serupa yang diterima oleh seorang penduduk dari suatu Negara berkenaan dengan pekerjaan dalam hubungan perburuhan hanya akan dikenakan pajak di negara itu, kecuali jika pekerjaan itu dilakukan di negara lain jika demikian, maka balas jasa yang diterima dari pekerjaan itu dikenakan pajak di Negara lain itu.
2. Walaupun ada ketentuan-ketentuan ayat 1, balas jasa yang diperoleh seorang penduduk disuatu Negara dari pekerjaan yang dilakukan di Negara lain, hanya akan dikenakan pajak di Negara yang disebut pertama, jika:
(a) sipenerima berada di Negara lain itu selama suatu masa atau masa-masa yang jumlahnya tidak melebihi 183 hari dalam suatu tahun takwim;
dan
(b) balas jasa dibayar oleh atau nama majikan yang bukan merupakan penduduk Negara lainnya itu;
dan
(c) balas jasa tidak menjadi beban suatu ayat 1 dan 2, balas jasa yang berkenaan dengan pekerjaan dalam hubungan perburuhan yang dilakukan di atas kapal atau pesawat udara yang dioperasikan dalam jalur lalulintas internasional oleh perusahaan dari suatu Negara, dikenakan pajak di Negara itu.
Pasal 16
Pendapatan para pengurus dan pembayaran-pembayaran sejenis lainnya yang diperoleh seorang penduduk suatu Negara dalam kedudukannya sebagai anggota pengurus dari suatu perusahaan yang berkedudukan di Negara lain, dikenakan pajak di Negara lainnya itu.
Pasal 17
1. Walaupun ada ketentuan-ketentuan Pasal 14 dan 15, pendapatan yang diperoleh seorang seniman penghibur, seperti artis teater, film, radio atau televisi, dan pemain musik, atau oleh seorang atlit, dari kegiatan-kegiatan pribadi mereka diatas, dikenakan pajak di Negara dimana kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan.
Bagaimanapun pendapatan itu dibebaskan dari pengenaan pajak di Negara tersebut apabila kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh seseorang yang menjadi penduduk Negara lain, berdasarkan suatu program khusus pertukaran kebudayaan yang dimufakati oleh Pemerintah kedua Negara.
2. Bila pendapatan sehubungan dengan kegiatan pribadi demikian dari penghibur atau atlit tidak jatuh kepada mereka tetapi kepada orang lain walaupun ada ketentuan-ketentuan Pasal 7, 14 dan 15, dikenakan pajak di Negara dimana kegiatan-kegiatan mereka dilakukan.
Bagimanapun pendapatan itu dibebaskan dari pengenaan pajak di Negara tersebut, apabila kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh seseorang yang merupakan penduduk Negara lain berdasarkan suatu program khusus pertukaran kebudayaan yang dimufakati oleh Pemerintah kedua Negara dan jatuh kepada orang lain yang merupakan penduduk dari Negara lainnya itu.
Pasal 18
Tunduk pada ketentuan-ketentuan Pasal 19 ayat 2, pensiun dan pembayaran sejenis lainnya yang dibayarkan kepada seorang penduduk suatu Negara akibat suatu hubungan kerja masa lalu, hanya dikenakan pajak di Negara itu.
Pasal 19
1. (a) Balas jasa, selain pensiun, yang dibayar oleh suatu Negara, Pemerintah/Lokal kepada seseorang sehubungan dengan jasa-jasa yang diberikan kepada Negara atau Pemerintah Daerah/Lokal itu, dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas Pemerintah, hanya akan dikenakan pajak di Negara itu.
(b) Namun demikian, balas jasa itu hanya akan dikenakan pajak di Negara lainnya apabila jasa-jasa tersebut diberikan di Negara lainnya itu dari pemberi jasa adalah penduduk Negara tersebut yang :
(i) mempunyai kewarganegaraan Negara lain itu, atau
(ii) tidak menjadi penduduk Negara lain itu semata-mata dengan tujuan melaksanakan pemberian jasa-jasa di maksud.
2. (a) Setiap pensiun yang dibayar oleh atau dari dana-dana yang diadakan oleh suatu Negara atau Pemerintah Daerah/Lokal kepada seseorang sehubungan dengan pemberian jasa kepada Negara, atau Pemerintah Daerah/Lokal itu, hanya akan dikenakan pajak di Negara itu.
(b) Namun demikian pensiun itu hanya akan dikenakan pajak di Negara lainnya apabila orang tersebut merupakan penduduk dan berkewarganegaraan Negara lainnya itu.
3. Ketentuan-ketentuan Pasal 15, 16, 17 dan 18 akan berlaku terhadap balas jasa atau pensiun dari jasa yang diberikan kepada perusahaan yang dijalankan oleh suatu Negara atau Pemerintah Daerah/Lokal.
Pasal 20
Seorang guru besar atau guru yang mengadakan kunjungan untuk sementara ke suatu Negara dalam jangka waktu yang tidak melebihi 2 tahun dengan maksud untuk mengajar atau melakukan riset di suatu Universitas, Akademi, Sekolah atau Lembaga pendidikan yang diakui Pemerintah, dan yang sebelum kunjungan itu ia adalah penduduk Negara lainnya, hanya akan dikenakan pajak di Negara lainnya itu atas balas jasa yang diperolehnya dari mengajar dan melakukan riset itu.
Pasal 21
1. Seseorang yang merupakan penduduk suatu Negara sebelum melakukan kunjungan ke Negara lainnya dan untuk sementara berada di Negara lain itu semata-mata:
(a) sebagai seorang mahasiswa atau pelajar pada suatu Universitas, Akademi, Sekolah atau Lembaga pendidikan lainnya yang diakui Pemerintah di Negara lain itu.
(b) sebagai seorang yang menerima bantuan, tunjangan atau hadiah dari Pemerintah, organisasi-organisasi keagamaan, sosial, ilmu pengetahuan, kesusasteraan atau pendidikan, dengan tujuan pokok untuk belajar atau melakukan riset, atau
(c) sebagai seorang yang sedang belajar diperusahaan, akan dibebaskan dari pengenaan pajak di Negara lain itu, untuk suatu jangka waktu yang tidak melebihi 5 tahun pajak terhitung dari tanggal kedatangannya yang pertama di Negara lain tersebut, atau pendapatan yang diperoleh dari
(i) pengiriman uang dari luar negeri untuk maksud keperluan hidupnya, pendidikan, pelajaran, riset atau latihan.
(ii) bantuan, tunjangan atau hadiah.
(iii) pemberian jasa perorangan di Negara lainnya itu yang dibayar oleh majikan yang merupakan penduduk dari Negara yang disebut pertama, dan
(iv) pemberian jasa perorangan di Negara lainnya itu selain pendapatan yang disebut dalam sub-ayat (iii), tidak melebihi jumlah 600.000 yen apabila Negara lainnya itu Jepang, atau 900.000, rupiah apabila Negara lainnya itu adalah Indonesia, selama satu tahun takwim.
2. Seseorang yang merupakan penduduk suatu Negara sebelum mengadakan kunjungan ke Negara lainnya dan berada untuk sementara di Negara lainnya itu selama suatu jangka waktu yang tidak melebihi 12 bulan sebagai pegawai dari, atau dalam ikatan kerja dengan suatu perusahaan dari Negara yang disebut pertama, atau suatu organisasi seperti tersebut pada ayat 1 (b), semata-mata untuk mendapatkan pengalaman dibidang tehnik, keahlian atau usaha, akan dibebaskan dari pengenaan pajak di Negara lainnya itu atas pendapatan selama jangka waktu tersebut diatas untuk jasa-jasa yang langsung diberikannya untuk mendapatkan pengalaman itu, jika jumlah seluruhnya yang diterima dari luar negeri oleh orang tersebut dan yang dibayarkan di negara lainnya itu tidak melebihi jumlah 1.800.000 Yen apabila Negara lainnya itu adalah Jepang, atau 2.700.000 Rupiah apabila Negara lainnya itu adalah Indonesia, selama suatu tahun takwim.
3. Seseorang yang merupakan penduduk suatu Negara sebelum mengadakan kunjungan ke Negara lainnya dan berada untuk sementara di Negara itu selama suatu jangka waktu yang tidak melebihi 12 bulan berdasarkan rencana Pemerintah Negara lainnya itu, semata-mata dengan maksud untuk belajar, riset atau latihan, akan dibebaskan dari pengenaan pajak di Negara lainnya itu atas pendapatan dari jasa-jasa yang langsung diberikannya sehubungan dengan maksud tersebut di atas.
4. Walaupun ada ketentuan-ketentuan ayat 1, 2 dan 3, dimana seseorang memenuhi persyaratan untuk pembebasan pajak sehubungan dengan jangka waktu berdasarkan dua atau semua ayat ayat itu, namun ia hanya mempunyai hak pembebasan pajak berdasarkan satu ayat saja yang dapat ia pilih.
5. Untuk tujuan-tujuan dari Pasal ini, istilah Pemerintah akan dianggap termasuk setiap Pemerintah Daerah/Lokal dari suatu Negara.
Pasal 22
1. Bagian-bagian dan pendapatan dari seorang penduduk suatu Negara, darimanapun asalnya, yang tidak diatur dalam Pasal-pasal terdahulu dari persetujuan ini hanya akan dikenakan pajak di Negara itu.
2. Ketentuan-ketentuan ayat 1 tidak akan berlaku terhadap pendapatan yang berasal dari harta tak gerak seperti dirumuskan dalam Pasal 6 ayat 2, jika penerimaan pendapatan itu merupakan penduduk dari suatu Negara, menjalankan perusahaan dengan suatu pendirian tetap di Negara lain, atau melakukan pekerjaan bebas dengan suatu tempat tertentu di Negara lain, dan hak atau kekayaan sehubungan dengan mana pendapatan itu dibayarkan mempunyai hubungan efektif dengan pendirian tetap atau tempat tertentu itu.
Dalam hal demikian, melihat pada masalahnya berlaku ketentuan-ketentuan Pasal 7 atau Pasal 14
Pasal 23
1. Tunduk kepada perundang-undangan Jepang mengenai kelonggaran sebagai suatu pengurangan terhadap pajak di Jepang, yaitu pajak yang dibayar di Negara lain di luar Jepang
(a) jika penduduk Jepang memperoleh pendapatan dari Indonesia dan pendapatan itu dikenakan pajak di Indonesia sesuai dengan ketentuan-ketentuan Persetujuan ini, maka jumlah pajak yang dibayar atas pendapatan itu akan diperhitungkan dengan pajak terhutang yang dikenakan di Jepang terhadap penduduk itu.
Bagaimanapun jumlah pajak yang diperhitungkan itu tidak akan melebihi jumlah pajak yang dikenakan di Jepang atas bagian pendapatan itu.
(b) jika pendapatan itu berupa dividen yang dibayarkan oleh suatu badan yang berkedudukan di Indonesia kepada suatu badan yang berkedudukan di Jepang dan yang memiliki tidak kurang dari 25 persen dari hak suara dari badan yang membayar dividen atau dari seluruh saham yang dikeluarkan oleh badan itu, maka pajak yang dibayar di Indonesia oleh badan yang memberikan dividen itu akan diperhitungkan.
2. (a) untuk tujuan ayat 1 (a), pajak yang dikenakan di Indonesia akan selalu dianggap telah dibayar menurut tarip 10 persen terhadap dividen seperti yang diatur menurut pasal 11 ayat 2, dan royalty seperti yang diatur menurut Pasal 12 ayat 2, dan dengan tarip 15 persen terhadap dividen seperti yang diatur menurut Pasal 10 ayat 2 (b), jika
(i) dividen, bunga atau royalti itu dibayar oleh suatu badan yang berkedudukan di Indonesia dan yang pada saat pembayaran, mengambil bagian dalam penanaman modal berdasarkan Undang-undang No. 1 tahun 1967 mengenai Penanaman Modal Asing, seperti telah dirubah dan ditambah dengan Undang-undang No. 11 tahun 1970, dan sepanjang belum ada perubahan sejak tanggal penandatanganan Persetujuan ini, atau perubahan tersebut tidak berarti sehingga tidak mempengaruhi ciri umumnya;
(ii) dividen, bunga atau royalti yang menurut perpajakan Indonesia dibebaskan atau diberi kelonggaran berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat 3, Undang-undang No. 1 tahun 1967 setelah dirubah, seperti disebut pada (i) diatas, atau
(iii) dividen, bunga atau royalti yang menurut perpajakan Indonesia dibebaskan atau diberi kelonggaran berdasarkan fasilitas-fasilitas pajak lainnya yang ditujukan untuk memajukan perkembangan ekonomi Indonesia yang mungkin ditetapkan dalam perundang-undangan Indonesia sesudah tanggal penandatanganan Persetujuan itu, dan yang dapat dimufakati oleh Pemerintah kedua Negara.
(b) untuk tujuan-tujuan ayat 1 (b), istilah pajak yang dibayar di Indonesia akan dianggap termasuk jumlah pajak Indonesia yang seharusnya telah dibayar seandainya pajak Indonesia itu tidak dibebaskan atau diberi kelonggaran berdasarkan:
(i) ketentuan-ketentuan Pasal 16 ayat 1, 2 dan 3 undang-undang No. 1 tahun 1967 setelah dirubah, seperti disebut pada sub ayat (a) (i);
(ii) ketentuan-ketentuan Pasal 15 ke 4 d Undang-undang No. 1 tahun 1967 setelah dirubah, seperti disebut pada sub-ayat (a) (i); atau
(iii) setiap fasilitas pajak lainnya yang ditujukan untuk memajukan perkembangan ekonomi Indonesia yang mungkin ditetapkan dalam perundang-undangan Indonesia sesudah tanggal penandatanganan Persetujuan ini, dan yang dapat dimufakati oleh Pemerintah kedua Negara.
3. Di Indonesia, pajak ganda akan dihindarkan dengan cara sebagai berikut.
(a) Indonesia, ketika mengenakan pajak kepada penduduknya, dapat menggabungkan dalam pendapatan kena pajak, bagian-bagian dari pendapatan yang dikenakan pajak di Jepang menurut ketentuan-ketentuan dalam Persetujuan ini;
(b) Jika penduduk Indonesia memperoleh pendapatan dari Jepang dan pendapatan itu dikenakan pajak di Jepang menurut ketentuan-ketentuan dalam Persetujuan ini, jumlah pajak yang dibayar di Jepang atas pendapatan itu akan diperkenankan untuk diperhitungkan dengan pajak terhutang yang dikenakan terhadap penduduk itu.
Bagaimanapun jumlah pajak yang diperhitungkan itu tidak akan melebihi jumlah pajak yang dikenakan Indonesia atas bagian pendapatan itu.
Pasal 24
1. Warganegara dari suatu Negara tidak akan dikenakan pajak atau kewajiban apapun sehubungan dengan itu oleh Negara lainnya, yang berlainan atau lebih memberatkan daripada pengenaan pajak dan kewajiban-kewajiban yang bersangkutan dengan itu dibandingkan dengan warganegara dari Negara lainnya itu dalam keadaan yang sama.
2. Pengenaan pajak atas suatu pendirian tetap di Negara lain yang merupakan milik suatu perusahaan di suatu Negara tidak akan diperlakukan dengan cara yang kurang menguntungkan oleh Negara lainnya itu, dibandingkan dengan pemungutan pajak atas perusahaan dari Negara lainnya yaitu yang menjalankan kegiatan-kegiatan yang sama.
Ketentuan ini tidak akan ditafsirkan sebagai mewajibkan suatu Negara untuk memberikan kepada penduduk Negara lainnya potongan pribadi, keringanan dan pengurangan untuk tujuan pengenaan pajak berdasarkan status sipil atau tanggungan keluarga sebagaimana yang diberikan kepada penduduk Negara itu sendiri.
3. Kecuali dimana ketentuan-ketentuan Pasal 9, Pasal 11 ayat 8, atau pasal 12 ayat 6 berlaku, bunga, royalti dan lain-lain pengeluaran yang dibayarkan oleh suatu perusahaan disuatu Negara kepada penduduk di Negara lainnya, maka untuk tujuan menentukan laba kena pajak perusahaan itu akan dapat dikurangkan berdasarkan keadaan yang sama, seolah-olah bunga, royalti dan lain-lain pengeluaran itu telah dibayarkan kepada penduduk dari Negara yang disebut pertama.
4. Perusahaan dari suatu Negara, yang modalnya baik seluruhnya ataupun sebagian dimiliki atau diawasi, langsung atau tidak langsung, oleh penduduk atau penduduk-penduduk dari Negara lainnya, tidak akan dikenakan pajak atau kewajiban apapun sehubungan dengan itu di Negara tersebut pertama yang berlainan atau lebih memberatkan dari pada pengenaan pajak dan kewajiban-kewajiban yang bersangkutan dengan itu, yang dikenakan atau dapat dikenakan atas perusahaan-perusahaan lainnya yang serupa di negara tersebut pertama.
5. Meskipun ada ketentuan-ketentuan pada ayat-ayat terdahulu, Indonesia dapat membatasi warganegaranya menikmati fasilitas pajak yang diberikan berdasarkan :
(a) Undang-undang No. 6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal dalam Negeri, sepanjang belum dirubah sejak tanggal penandatanganan Persetujuan ini, atau perubahan tersebut tidak berarti, sehingga tidak mempengaruhi ciri umumnya; atau
(b) Undang-undang lainnya yang akan diumumkan oleh Indonesia mengenai program pengembangan ekonomi dan mengenai hal itu Pemerintah kedua Negara dapat mengadakan pemufakatan bahwa ketentuan-ketentuan dari ayat terdahulu tidak berlaku.
6. Dalam Pasal ini pengertian pengenaan pajak berarti pengenaan pajak-pajak yang diatur oleh persetujuan ini.
Pasal 25
1. Apabila seseorang atau suatu badan beranggapan bahwa tindakan-tindakan satu atau kedua Negara mengakibatkan atau akan mengakibatkan baginya pengenaan pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan. Persetujuan ini ia dapat terlepas dari cara-cara penyelesaian yang diatur oleh undang-undang nasional masing-masing Negara, mengajukan masalahnya kepada pejabat yang berwenang dan Negara dimana ia merupakan penduduk atau apabila masalahnya menyangkut Pasal 24 ayat 1, kepada Negara dimana ia merupakan warganegara, masalah itu harus diajukan dalam waktu 3 tahun sejak pemberitahuan pertama, mengenai tindakan yang mengakibatkan pengenaan pajak tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan Persetujuan ini.
2. Pejabat yang berwenang akan berusaha, bila keberatan yang ditujukan kepadanya itu beralasan dan ia tidak dapat menemukan pemecahan yang memuaskan menyelesaikan masalah itu melalui permufakatan bersama antara pejabat yang berwenang dan kedua Negara, dengan tujuan mencegah pengenaan pajak yang tidak sesuai dengan Persetujuan ini. Meskipun terdapat pembatasan waktu dalam undang-undangan nasional. Negara masing-masing, setiap permufakatan yang telah dicapai harus dilaksanakan.
3. Pejabat-pejabat yang berwenang dan kedua Negara akan berusaha menyelesaikan melalui permufakatan setiap kesulitan-kesulitan dan keraguan-keraguan yang timbul mengenai penafsiran atau penerapan Persetujuan ini.
Mereka dapat pula berunding bersama untuk meniadakan pajak berganda dalam hal-hal yang diatur dalam Persetujuan ini.
4. Pejabat-pejabat yang berwenang dari kedua Negara dapat berhubungan satu sama lain secara langsung guna mencapai suatu persetujuan seperti dimaksud pada ayat-ayat terdahulu.
Pasal 26
1. Pejabat-pejabat yang berwenang dari kedua Negara akan mengadakan tukar-menukar bahan keterangan yang diperlukan untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan Persetujuan ini atau untuk pencegahan pengelakan pajak atau untuk pelaksanaan ketentuan undang undang terhadap penghindaran pajak yang sehubungan dengan pajak-pajak yang diatur oleh Persetujuan ini.
Setiap keterangan yang dipertukarkan akan dirahasiakan dan tidak akan diundangkan kepada orang atau badan lain atau pejabat-pejabat selain dari mereka yang (termasuk pengadilan) berkepentingan dengan penerapan dan penagihan pajak-pajak itu atau penentuan banding, dan orang atau badan yang bersangkutan dengan keterangan itu.
2. Ketentuan-ketentuan ayat 1 tidak boleh ditafsirkan sedemikian rupa sehingga membebankan suatu Negara kewajiban:
(a) melaksanakan tindakan administratif yang berlawanan dengan undang-undang dan praktek administrasi dari Negara tersebut atau Negara lainnya:
(b) memberikan ketentuan-ketentuan yang tidak dapat diperoleh berdasarkan undang undang atau dalam pelaksanaan administrasi yang lazim dari Negara tersebut atau Negara lainnya; atau
(c) memberikan keterangan yang akan mengungkapkan setiap rahasia dibidang perniagaan, usaha industri perdagangan atau rahasia keahlian atau tata-cara perniagaan, atau keterangan yang pengungkapannya akan bertentangan dengan kebijaksanaan umum.
Pasal 27
Tidak ada sesuatupun dalam Persetujuan ini akan ditafsirkan untuk menghalangi Pemerintah kedua Negara membuat pengaturan yang khusus dibidang perpajakan seperti pembebasan pajak sehubungan dengan kerjasama ekonomi atau kerjasama tehnik antara kedua Negara.
Pasal 28
Tidak ada sesuatupun dalam Persetujuan ini akan mempengaruhi hak-hak khusus dibidang fiskal dari para anggota misi diplomatik atau pegawai-pegawai konsuler berdasarkan ketentuan umum hukum internasional atau berdasarkan ketentuan-ketentuan persetujuan yang khusus.
Pasal 29
1. Persetujuan ini akan diratifisir dan instrumen ratifikasi akan dipertukarkan di Jakarta secepat mungkin.
2. Persetujuan ini akan syah berlaku pada hari ke-30 setelah tanggal pertukaran instrumen ratifikasi dan akan diterapkan di kedua Negara, terhadap pendapatan yang diterima selama suatu tahun pajak yang dimulai atau setelah 1 Januari tahun takwim berikutnya sesudah Persetujuan ini syah berlaku.
Pasal 30
Persetujuan ini akan berlaku tanpa batas waktu, tetapi salah satu dari kedua Negara dapat, pada tanggal atau sebelum 30 Juni suatu tahun setelah berakhirnya jangka waktu 3 tahun terhitung tanggal berlakunya mengirimkan surat pemberitahuan tertulis mengenai penghentian Persetujuan kepada Negara lainnya melalui saluran diplomatik.
Dalam hal demikian Persetujuan ini tidak berlaku lagi dikedua Negara sehubungan dengan pendapatan yang diperoleh selama tahun pajak yang dimulai atau setelah 1 Januari tahun takwim berikutnya sesudah pemberitahuan itu.
Dengan kesaksian para pendatanganan dibawah ini yang telah diberi kuasa syah untuk ini oleh masing-masing Pemerintahnya telah menandatangani Persetujuan ini.
Dibuat dalam rangkap dua di Tokyo tanggal 3 Maret 1982 dalam bahasa Inggeris.
Untuk Pemerintah Untuk Pemerintah
Republik Indonesia Jepang
PROTOKOL
Pada saat penandatanganan Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Jepang untuk Penghindaran Pajak Berganda dan Pencegahan Pengelakan Pajak yang menyangkut Pajak atas pendapatan (selanjutnya disebut Persetujuan), penandatangan dibawah ini telah mufakat mengenai ketentuan-ketentuan berikut ini yang merupakan bagian yang perlu untuk dilengkapi Persetujuan itu.
1. Sehubungan dengan Pasal 5 ayat 8 dari Persetujuan, dimana makelar, agen komisioner umum dan agen lainnya disuatu negara seluruhnya atau hampir seluruhnya berusaha untuk kepentingan suatu perusahaan di Negara lain, maka ia tidak akan dianggap mempunyai status yang berdiri sendiri dalam pengertian ayat tersebut.
2. Berkenaan dengan Pasal 8 dari Persetujuan, keuntungan-keuntungan yang diperoleh dari pengoperasian kapal laut dalam pengertian Pasal tersebut akan terdiri hanya dari keuntungan-keuntungan yang diperoleh suatu perusahaan dari suatu Negara yang menjalankan usaha perkapalan atas dasar perhitungan dan tanggung jawabnya sendiri.
3. Sehubungan dengan Pasal 16 dari Persetujuan, istilah, anggota pengurus dari suatu perusahaan akan termasuk anggota pengurus dan anggota dewan komisaris dari suatu perusahaan yang berkedudukan di Indonesia.
4. Untuk tujuan-tujuan Pasal 23 ayat 2 (b) Persetujuan, istilah pajak yang dibayar di Indonesia tidak termasuk jumlah pajak Indonesia yang seharusnya telah dibayar seandainya kerugian-kerugian yang diderita suatu badan yang berkedudukan di Indonesia tidak diperhitungkan, karena penerapan perangsang penanaman sesuai dengan ketentuan ketentuan atau langkah-langkah yang berkenaan dengan ayat tersebut, kecuali dalam hal suatu badan yang berkedudukan di Indonesia dibebaskan dari pengenaan pajak Indonesia atau diberi kelonggaran sesuai dengan ketentuan-ketentuan pasal 16 ayat 3 Undang-undang No. 1 tahun 1967 setelah dirubah, yang berkenaan dengan Pasal 23 yat 2 (a) (i) Persetujuan.
5. (a) Tidak ada suatupun dalam Persetujuan ini akan ditafsirkan untuk menghalangi Indonesia mengenakan pajak atas bagian laba sesuai dengan ketentuan-ketentuan Pasal 7 Persetujuan dari Pajak atas Bunga, Dividen dan Royalti yang ada hubungannya dengan Pasal 3 b ke-b Undang-undang Pajak Dividen 1959 setelah dirubah dan ditambah dengan Undang-undang No. 10 tahun 1970, sepanjang belum ada perubahan sejak tanggal penandatanganan protokol ini, atau perubahan tersebut tidak berarti sehingga tidak mempengaruhi ciri umumnya, atas laba setelah pajak Perseroan (kecuali untuk pengoperasian kapal laut atau pesawat udara dalam jalur lalulintas internasional) dari suatu badan yang berkedudukan di Jepang yang mempunyai pendirian tetap di Indonesia; tetapi jumlah pajak tersebut tidak akan melebihi 10 persen dari sisa laba tersebut, kecuali sisa laba itu merupakan laba yang diperoleh dari badan-badan yang melakukan kontrak bagi hasil dibidang perminyakan dan gas alam dengan Pemerintah Republik Indonesia atau dengan perusahaan minyak milik Negara Indonesia.
(b) Pajak tersebut diatas yang sehubungan dengan laba setelah Pajak Perseroan dari suatu badan yang berkedudukan di Jepang yang mempunyai pendirian tetap di Indonesia, yang diperoleh dari kontrak bagi hasil dibidang perminyakan dan gas alam dengan Pemerintah Republik Indonesia atau dengan perusahaan minyak milik Negara Indonesia tidak akan diperlakukan dengan cara yang kurang menguntungkan dibandingkan dengan perlakukan terhadap badan yang berkedudukan di Negara ketiga yang mempunyai pendirian tetap di Indonesia yang memperoleh laba dari kontrak bagi hasil dibidang perminyakan dan gas alam dengan Pemerintah Republik Indonesia atau perusahaan minyak milik Negara Indonesia.
(c) Untuk tujuan-tujuan daripada ayat ini, laba setelah pajak Perseroan berarti jumlah sisa dari keuntungan-keuntungan yang merupakan pendirian tetap dari suatu badan yang tidak berkedudukan di Indonesia, dikurangi jumlah pajak Indonesia selain daripada yang dimaksud dalam (a) diatas, yang dikenakan atas keuntungan keuntungan tersebut.
Dengan kesaksian para penandatangan dibawah ini, yang telah diberi kuasa syah untuk ini oleh masing-masing Pemerintahnya, telah menandatangani Protokol ini.
Dibuat dalam rangkap dua di Tokyo tanggal 3 Maret 1982 dalam bahasa Inggeris.
Untuk Pemerintah Untuk Pemerintah
Republik Indonesia Jepang

Jumat, 10 Juli 2009

Keringanan PBB Bersyarat Mulai Diberikan Pemerintah

Pemerintah memberikan keringanan kepada masyarakat yang tidak mampu membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) atas tanah dan bangunan yang dimilikinya.

Namun dengan syarat wajib pajak (WP) yang bersangkutan mengalami kondisi tertentu seperti terkena bencana alam atau mengalami kesulitan ekonomi.

Hal ini dikatakan oleh Kepala Biro Humas Departemen Keuangan Harry Z. Soeratin dalam siaran pers yang dikutip detikFinance , Jumat (10/7/2009).

Untuk wajib pajak pribadi kondisi tertentu yang dialaminya sehingga dia bisa mendapatkan keringanan PBB adalah jika wajib pajak bersangkutan merupakan veteran pejuang, veteran pembela kemerdekaan, penerima tanda jasa bintang gerilya, atau janda/ dudanya. Sedangkan objek pajak berupa lahan pertanian/ perkebunan/ perikanan/ peternakan yang hasilnya sangat terbatas yang WP-nya orang pribadi berpenghasilan rendah; objek pajak yang WP-nya orang pribadi yang penghasilannya semata-mata berasal dari pensiunan sehingga kewajiban PBB-nya sulit dipenuhi; dan/atau objek pajak yang WP-nya berpenghasilan rendah yang Nilai Jual Objek Pajaknya per meter perseginya meningkat akibat perubahan lingkungan dan dampak positif pembangunan.

"Sedangkan untuk WP badan meliputi WP badan yang mengalami kerugian dan kesulitan likuiditas pada tahun pajak sebelumnya sehingga tidak dapat memenuhi kewajiban rutinnya," ujar Harry.

Besarnya pengurangan yang dapat diberikan adalah sebesar 75% dari PBB yang terutang bagi wajib pajak dengan dengan kondisi tertentu sebagaimana disebutkan di atas dan sebesar paling tinggi 100% bagi objek pajak yang terkena bencana alam atau sebab lain yang luar biasa.

Harry mengatakan pengurangan PBB ini diberikan berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang dapat diajukan secara perseorangan maupun kolektif. Sementara itu sanksi administrasi PBB dan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan, serta Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang, Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, atau Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang tidak benar dapat dikurangi, dihapus atau dibatalkan dengan persyaratan tertentu.

Aturan ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 110/PMK.03/2009 yang berlaku efektif mulai 17 Agustus 2009 dapat mengurangi PBB kepada Wajib Pajak karena kondisi tertentu objek pajak yang ada hubungannya dengan subjek pajak dan/atau karena sebab-sebab tertentu lainnya, dan dalam hal objek pajak terkena bencana alam (seperti gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, dl/) atau sebab lain yang luar biasa seperti kebakaran, wabah penyakit tanaman, dan/atau wabah hama tanaman.

"Pengurangan dan penghapusan sanksi administrasi untuk PBB dan BPHTB dapat dilakukan terhadap sanksi administrasi yang tercantum dalam SK PBB; ST PBB; SKBKB; SKBKBT; atau STB jika terdapat ketidakbenaran atas luas objek, nilai jual, dan penafsiran peraturan perundang-undangan atas PBB pada SPPT, SKP PBB, atau STP PBB serta ketidakbenaran atas nilai perolehan objek pajak dan/atau penafsiran perundangan BPHTB pada SKBKB, SKBKBT,SKBLB,SKBN, atau STB," pungkas Harry.

Kamis, 09 Juli 2009

Masalah Pajak dan PILPRES

Tanggal 9 April 2009 bangsa Indonesia telah melaksanakan pemilu legislatif, yang meninggalkan sejumlah benang kusut. Belum usai benang kusut itu diurai, rakyat sudah harus dihadapkan pada agenda politik selanjutnya, berupa pemilihan presiden dan wakil presiden. Para kandidat presiden dan wakil presiden didukung dm suksesnya, langsung bekerja ofensif, berkampanye merebut simpati massa. Semua janji laksana fatamorgana, terlebih jika kita menengok realitas kehidupan masyarakat. Mereka memosisikan diri sebagai calon wakil rakyat dan calon presiden/wakil presiden yang akan membawa solusi bagi semua problem bangsa.

Pertanyaannya, benarkah para calon wakil rakyat benar-benar beriktikad baik, mencalonkan diri sebagai wakil rakyat untuk memperjuangkan kemakmuran rakyat? Benarkah ladang pengabdian terhadap rakyat hanyalah menjadi wakil rakyat, menjadi presiden dan wakil presiden? Orang bijak mengatakan ladang pengabdian ada di mana-mana. Ladang bela negara ada di banyak sendi kehidupan lain.

Salah satu wujud lain bela negara adalah membayar pajak, sesuai amanat UUD 1945 Pasal 23, bahwa "Pajak merupakan kontribusi wajib rakyat kepada negara baik orang pribadi maupun badan hukum atau warga negara terhadap negara, dengan tidak mendapat imbalan atau kontraprestasi langsung dan digunakan untuk kepentingan negara serta untuk kemakmuran rakyat."

Penerimaan negara dari sektor pajak, selama ini telah dimanfaatkan oleh negara antara lain untuk pembangunan dan penyediaan aneka fasilitas dan jasa pelayanan publik, perlindungan keamanan dan ketertiban masyarakat, hingga demokratisasi. Pesta demokrasi berupa pemilu legislatif dan pilpres, sepenuhnya dibiayai APBN yang notabene adalah uang rakyat yang dibayarkan melalui pajak.

Sebagai masyarakat teladan, para elite politik, para pemimpin bangsa sudah seharusnya memperlihatkan perilaku yang dapat menjadi anutan rakyat. Sudah selayaknya jika mereka menunjukkan kearifan, memperlihatkan bagaimana seorang pemimpin memiliki jiwa kepemimpinan, jiwa mengayomi rakyat.

Alih-alih menampakkan bobot kepemimpinan, yang terjadi dengan sejumlah elite politik kita justru praktik rendah, laiknya sekelompok orang yang tidak berpendidikan. Mereka bahkan bisa melakukan praktik-praktik tak terpuji untuk memperebutkan kursi kekuasaan, baik sebagai wakil rakyat maupun pejabat publik lain. Ttdak jarang yang secara terang-terangan terlibat praktik memperkaya diri sendiri.

Tidak ada yang salah, bahwa sebagian uang pajak rakyat, dialokasikan untuk membiayai pesta demokrasi berupa pemilu legislatif dan pilpres.

Tetapi, teriris rasa keadilan kita manakala yang terjadi justru kita disuguhi pelaksanaan pemilu yang karut-marut. Sebelum Pemilu, tidak sedikit pula dana pemerintah lewat APBN maupun APBN yang dipakai mendanai pilkada, dan berujung pada terjadinya konflik horizontal.

Jika dihitung, biaya pemilu DPR RI, DPD, DPRD provinsi, kabupaten/kota, pilpres lebih dari Rp50 triliun. Belum termasuk biaya kampanye yang resmi maupun tidak resmi dari para caleg, cagub-cawagub, calon bupab-wakil bupati, calon presiden dan calon wakil presiden. Pertanyaan kritisnya adalah sepadankah rupiah yang dihamburkan untuk mendanai pesta demokrasi, dengan tujuan demokrasi bagi kesejahteraan rakyat? Jauh panggang dari api.

Jika para peserta pemilu, pengurus negara ini sudah diwajibkan men-declare harta kekayaannya, tentunya declare juga kewajibannya sebagai warga negara yakni kepatuhan membayar pajak. Membayar pajak adalah sebagai kontribusi terhadap negara untuk membiayai berjalannya roda pemerintahan, membiayai negara untuk biaya pembangunan dan untuk menyejahterakan rakyatnya. Dalam kalimat sederhana, bagaimanamungkin mereka (para calon pemimpin) berjanji menyejahterakan rakyat, kalau kewajiban membayar pajak tidak ditunaikan secara benar?

Maka jika para wakil rakyat, para elite politik, pemimpin bangsa ini membayar pajak dengan baik dan benar, rakyat pun akan mematuhi dan senang membayar pajak dan akan mematuhi pula kewajiban yang lainnya. Namun jika para wakil rakyat dan para pemimpin di negeri ini tidak mematuhi kewajiban membayar pajaknya, bagaimana rakyat akan membayar pajak, loong wakil dan pemimpinnya saja tidak paruh. Kenapa hak dan kewajiban sebagai warga negara ini perlu declare? Karena dengan declare seseorang mengenai kewajibannya mematuhi kewajiban membayar pajaknya maka akan diketahui kekayaannya. Kekayaan berupa uang yang cash on hand berapa untuk biaya pemilu yang akan diikuti oleh peserta yang bersangkutan.

Beberapa negara sudah mempunyai sistem bagus dalam pengelolaan pajaknya. Misalnya Jepang, kehidupan sosial sudah sangat teratur, disiplin, semua sudah pada jalurnya yang jelas, sistem sudah berjalan. Walaupun peta politik gonjang-ganjing, kehidupan bermasyarakat jalan tidak terpengaruh. Aktivitas mereka jalan seperti biasa.

Kehidupan sosial di negara tersebut sudah sangat memadai, jadi tidak ada keraguan masyarakat akan membayar pajak, karena dalam back mind sudah terpatri bahwa uang pajak adalah uang rakyat yang disetorkan ke negara.

Negara Republik Indonesia adalah negara hukum (Rechtstaat), berdasar Pancasila sebagaimana tersebut dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945. Hal ini sangat tegas dinyatakan dalam UUD 1945 bahwa negara Indonesia adalah negara hukum.

Negara h ukum bertujuan mewujudkan visinya mencapai masyarakat adil dan makmur yang tercantum dalam alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945. Pengertian adil mencakup terwujudnya kemanusiaan yang adil dan beradab dan makmurtermasuk terwujud keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Salah satu di antara kewajiban kenegaraan warga masyarakat yang sangat melekat dengan kelangsungan hidup berbangsa dan bertanah air adalah kewajiban perpajakan. Sebagai negara hukum, kewajiban perpajakan harus berdasar hukum yaitu UU Perpajakan. Sebagai negara hukum, kewajiban perpajakan dilaksanakan berdasarkan hukum pajak.

Merujuk pada pengertian hukum pajak keadilan, yaitu dalam arti perlakuan yang adil; bahwa setiap warga negara memenuhi persyaratan subjektif dan persyaratan objektif yang mempunyai kewajiban membayar pajak, tanpa membeda-bedakan tingkatan, kelompok masyarakat (imparsial). Kewajiban melaksanakan UU perpajakan memperhatikan hak asasi dan keseimbangan antara hak dan kewajiban kenegaraan seseorang. Adapun keadilan sosial termasuk dalam pengertian pengenaan beban pajak besarnya sesuai dengan objek pajak yang dimiliki dengan tetap memperhatikan kemampuan seseorang (ability to pay).

Hukum pajak adalah salah satu dari sekian banyak hukum yang sangat membumi, karena menjangkau semua lapisan masyarakat yang menjadi penduduk suatu negara. Sebagai warga negara, salah satu kewajiban yang melekat selama ada kehidupan seseorang adalah melakukan kewajiban perpajakan. Kewajiban perpajakan dilakukan sejak ibu mengandung bayi, memeriksakan diri ke rumah sakit (dokter), membeli obat, membeli baju, dan kebutuhan pangan yang dipakai secara sadar atau tidak, langsung membayar pajak. Baik yang membayar langsung maupun memakai pihak ketiga.

Nah, untuk itu kita berharap kepada para elite politik, para pemimpin bangsa, bahwa membela negara tidak sekadar berebut kursi menjadi pejabat, berebut mandat menjadi penguasa, tetapi yang utama dan pertama, adalah membayar pajak sebagai wujud mematuhi UU. Kepatuhan menjalankan kewajiban perpajakan, juga merupakan kewajiban melaksanakan mukadimah UUD yang diamanatkan negara maupun UUD sebagai falsafah hidup berbangsa dan bertanah air.

Harapan lain, setiap calon pejabat publik harus menguasai benar aspek-aspek perpajakan. Di samping, paruh dan taat menjalankan kewajiban perpajakan. Tanpa itu, yang terjadi adalah sebuah ironi. Sebab, penerimaan pajak saat ini mengon-tribusi tak kurang dari 80% penerimaan negara dalam APBN.

Karena itu menjadi ironi, manakala elite politik mengumbar janji menyejahterakan rakyat, tetapi sama sekali tidak pernah menyinggung aspek perpajakan. Setidaknya ikut menggugah kesadaran rakyat, bahwa penerimaan pajaklah yang selama ini dan ke depan akan menopang kita sebagai sebuah bangsa yang mandiri. Bukan jargon politik. Bukan janji politik. Bukan pula retorika tanpa makna. Dan, mestinya bukan pula utang luar negeri.

Sumber : Media Indonesia

Anggaran Stimulus Fiskal 2010 Lebih Rendah

Pemerintah telah menyiapkan anggaran untuk stimulus fiskal 2010 guna mendukung pemulihan ekonomi dalam negeri, yang terkendala dampak krisis keuangan global sejak tahun lalu. Besaran stimulus tahun depan adalah 1-1,6 persen dari produk domestik bruto (PDB).

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan stimulus itu sudah memadai untuk menciptakan pergerakan ekonomi, terutama untuk mendukung sektor riil. Besarnya stimulus tidak perlu sampai 2 persen karena persepsi pertumbuhan ekonomi semester kedua 2009 sudah membaik. "Fokus kebijakan stimulus 2010 tidak pada infrastruktur, tapi revitalisasi sektor industri," kata Sri Mulyani di Jakarta kemarin.

Dalam rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara 2010, pemerintah mengajukan anggaran untuk stimulus sekitar Rp 46,1 triliun atau lebih rendah daripada stimulus 2009 sebesar Rp 73,3 triliun. Stimulus fiskal itu terdiri atas stimulus perpajakan Rp 40 triliun serta stimulus belanja kementerian dan lembaga sebesar Rp 6,1 triliun. Tapi tak menutup kemungkinan stimulus ditambah menjadi Rp 50 triliun.

Fokus kebijakan lima tahun lalu dalam penyaluran stimulus fiskal, kata dia, perlu dievaluasi. Dia mencontohkan proposal sektor industri, yang menyebutkan industri tekstil mengalami stagnasi karena peralatannya tua sehingga perlu diganti. Pemerintah akan memberikan subsidi kredit ke perusahaan tekstil yang mau melakukan revitalisasi.

Menurut Sri Mulyani, pemerintah akan turun tangan langsung memperbaiki sektor-sektor industri tertentu, seperti tekstil, pabrik gula, dan pupuk. Sedangkan untuk infrastruktur seperti pembangunan pembangkit listrik 10 ribu megawatt yang tertunda, akan terus dilanjutkan pelaksanaannya.

Berdasarkan hasil Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional 2010 beberapa waktu lalu, stimulus tahun depan hanya diperuntukkan bagi pelaksana proyek stimulus 2009 yang dinilai sukses. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional akan menilai tingkat keberhasilan pelaksanaan stimulus tahun ini. Berdasarkan evaluasi sementara, penyerapan dana stimulus masih rendah.

Tentang rencana pemberian stimulus ini, Wakil Ketua Panitia Anggaran DPR Harry Azhar Aziz mengusulkan program stimulus dimasukkan ke anggaran kementerian dan lembaga yang bersangkutan. Sebab, program stimulus seharusnya diadakan untuk menghadapi kondisi mendesak dan perlu penanggulangan dengan dana siaga.

Harry mengatakan sebaiknya pemerintah memfokuskan pekerjaan pada pelaksanaan anggaran reguler. Apalagi penyerapan dana stimulus masih rendah. Sejak dilaksanakan pada Februari lalu, hingga Mei 2009, tingkat penyerapan anggaran stimulus baru Rp 286,953 triliun atau 27,67 persen dari rencana belanja pemerintah dalam anggaran pendapatan dan belanja negara.

Wakil Ketua Panitia Anggaran DPR Soeharso Monoarfa menyayangkan insentif perpajakan menjadi bagian dari alokasi stimulus fiskal 2010.

Insentif pajak, kata dia, sebenarnya bukan bagian dari stimulus tapi bagian dari penurunan tarif pajak penghasilan untuk badan usaha (PPh Badan) sebesar 3 persen. Penurunan ini memang diwajibkan Undang-Undang Pajak Penghasilan. "Ada atau tidak program stimulus, potongan pajak itu memang harus dilakukan," kata Soeharso.

Rabu, 08 Juli 2009

Materi Pajak Internasional

Baru kuliah hari pertama tapi dah ada tugas, cukup banyak lagi.... Tapi tenang aja dibuat kelompok kok.
Bagi yang pengen ambil materi dan tugas, bisa liat blog ini aja ya...!!!

Selasa, 07 Juli 2009

Perubahan UU PPh

Setiap apa yang ada di bumi ini pasti mengalami yang namanya perubahan, ini tidak terkecuali dengan UU PPh di Indonesia.

Banyak yang diharapkan dengan adanya perubahan Undang-undang ini, terlebih para pengusaha, investor maopun semua masyarakat di Indonesia. Secara garis besar memank tidak ada yang berubah total. sistem yang dipakai masih bersifat self assesment dimana semua tahapan dilaksanakan sendiri oleh WP maka setiap WP juga berperan aktif untuk memahaminya.

Dalam pokok-pokok perubahan UU PPh, dapat kita lihat bagaimana pemerintah ingin mempermudah proses yang ada.

Terkait itu, apapun yang dilakukan oleh pemerintah dan mendapat persetujuan wakil kita di DPR, kita punya kewajiban untuk melaksanakannya termasuk UU PPh terbaru ini.

Selayang Pandang Sistem Perpajakan Indonesia

Salah satu kewajiban bagi warga negara adalah membayar pajak. Sarana untuk mem-bayar pajak tersebut adalah NPWP Warga negara yang telah memiliki NPWP dinamakan Wajib Pajak (WP). Kewajiban utama WP adalah membayar pajak, atau bagi wajib pajak tertentu-juga bertindak sebagai pemotong pajak.

WP dalam rangka pemenuhan kewajiban perpajakannya, harus melalui empat tahapan kegiatan, yaitu menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan pajak terutang.

Tahapan pertama adalah menghitung. Yang dimaksudkan dengan menghitung di sini adalah menghitung seluruh penghasilan dalam satu tahun pajak. Sementara itu, yang dimaksud seluruh penghasilan adalah semua penghasilan, baik yang diperoleh dari pemberi kerja (kalau WP sebagai kaiyawan), penghasilan dari usaha (punya usaha), maupun penghasilan lain (sewa, bunga bank), baik yang diperoleh di dalam negeri maupun di luar negeri.

Tahapan kedua adalah memperhitungkan semua penghasilan tersebut (pada tahap pertama) dengan pengurang penghasilan, di antaranya harga pokok, biaya-biaya, PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak), dan pajak-pajak yang telah dipotong pihak ketiga (pemberi kerja atau bendaharawan pemerintah).

Selisih antara tahap pertama dan tahap kedua inilahyang harus dibayar-kan-pada tahap ketiga. Nah, tahap ketiga ini sangatlah penting untuk menentukan apakah WP tersebut masih memiliki kekurangan pembayaran pajak (apabila tahap satu lebih besar daripada tahap kedua) atau nihil (apabila tahap satu sama dengan tahap dua), atau malah lebih bayar (apabila tahap satu lebih kecil daripada tahap dua).

Tahap ketiga ini akan menghasikan tiga keputusan kurang bayar, nihil, atau lebih bayar. Artinya, maksud membayar pada tahapan ketiga ini adalah membayar atas kekurangan pajak yang ada. Untuk nihil dan lebih bayar, WP tidak mempunyai kewajiban membayar pajak. Sementara itu, pada tahapan terakhir WP wajib melaporkan kewajiban perpajakannya dengan sarana Surat Pemberitahuan (SPT Masa dan SPT Tahunan) ke kantor pajak.

Pelaporan ini merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan, baik kondisi SPT-nya kurang bayar, nihil, ataupun lebih bayar. Jadi, karena sistem perpajakan di Indonesia bersifat self assessment-di mana semua tahapan tadi dilaksanakan sendiri oleh WP-maka setiap WP juga berperan aktif untuk memahami setiap tahapan yang ada.

Inilah yang menjadi perbedaan dengan sistem perpajakan Indonesia dahulu. Oleh karena itu, dengan adanya peningkatan yang telah dilakukan, diharapkan kita dapat ikut menyukseskannya.

Delete this element to display blogger navbar