Rabu, 19 Agustus 2009

Pajak Versus Konsumsi dan Pertumbuhan Ekonomi

Fokus dan tetapkanlah prioritas. Itulah imbauan kita kepadapemerin tah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam mengelola perekonomian sebagai sebuah sistem. Sebagaimana lazimnya, sistem memuat atau didukung begitu banyak subsistem. Lalu semua subsistem itu harus dikelola dan digerakkan untuk mencapai satu tujuan utama {main goal). Karena itu, perlu ditetapkan prioritas. Dengan menetapkan dan menyepakati sebuah prioritas, otomatis semua subsistem ekonomi dalam sistem perekonomian kita harus bergerak dan bahu membahu mewujudkan satu tujuan besar yang ditetapkan sebagai prioritas itu. Setiap subsistem ibarat menerima pendelegasian tugas dan distribusi beban, tanpa harus menghilangkan atau mengurangi otoritas atau kewenangannya. Namun karena statusnya yang hanya subsistem, ritme program atau penetapan target subsistem harus sejalan dengan prioritas target yang telah disepakati bersama. Artinya, ritme program atau penetapan target setiap subsistem tak boleh mengacak-acak proses mewujudkan prioritas yang disepakati. Setiap subsistem tak boleh jalan sendiri-sendiri. Harus ada harmonisasi di antara semua subsistem agar prioritas itu dapat diwujudkan. Harmonisasi itu sangat bergantung pada kapabilitas dan kompetensi sang dirigen. Itulah urgensi seorang teknokrat atau ekonom senior sebagai dirigen, karena seorang teknokrat diyakini punya kapabilitas untuk mengharmonisasi semua subsistem ekonomi guna mewujudkan prioritas dari kerja sebuah sistem perekonomian.

Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2010 berikut Nota Keuangannya yang dipresentasikan pemerintah baru-baru ini sama sekali belum mempertegas fokusdan prioritas sistem perekonomian kita tahun mendatang. Memang ditetapkan target pertumbuhan ekonomi 5%, tapi bagaimana cara mewujudkan target pertumbuhan itu masih diragukan. Sebab, secara keseluruhan, RAPBN 2010 sebagai sistem-yang digerakkan oleh aneka subsistem di dalamnya- lebih memperlihatkan gelagat pemerintah untuk sekadar bertahan dari tekanan atau ekses krisis ekonomi global. Sama sekalitakada semangat ekspansif. Belanja negara hanya dinaikkan Rp3,8 triliun, dari Rpl.005,7 triliun per 2009 menjadi Rpl.009,5 triliun per 2010.

Ekses krisis ekonomi global menuntut pemerintah me-lakukanstimuluseko-nomi. Namun, untuk tahun mendatang alokasi anggaran untuk stimulus fiskal diproyeksikan sama dengan 2009. Padahal, mengacu pada data tentang ancaman penurunan investasi langsung dan pertumbuhan ekspor yang masih minus, pemerintah mestinya lebih agresif dalam melakukan stimulus ekonomi tahun mendatang. Sebab, stimulus itulah yang akan menumbuhkan permintaanataukonsumsi pemerintah Untuk menjaga daya beli rakyat, pemerintah menyediakan dua opsi dalam RAPBN 2010. Pertama, menaikkan gaji pokok PNS dan TNI/Polri. Kedua, mengalokasikan anggaran Rpl44,4 triliun, sekitar 14,3% dari total RAPBN 2010, untuk menyubsidi sejumlah kebutuhan pokok rakyat.

Pertanyaannya, seperti apa kekuatan motor pertumbuhan ekonomi kita saat ini? Pertumbuhan investasi langsung minim karena dayasaingkita jauh dari mumpuni. Hal ini tecermin dari pertumbuhan impor triwulan 1-2009 yang minus 20,4% dibanding periode yang sama per 2008. Ledakan bom di Mega Kuningan tempo hari makin menenggelamkan prospek Indonesia dalam meraih investasi langsung dari pemodal mancanegara.

Pemulihan awal yang mulai berproses di negara-negara tujuan ekspor mulai memunculkan permintaan. Namun, kita belum mem-beri respons sebagaimana mestinya. Banyak produsen, khususnya sektor manufaktur, belum bisa berproduksi akibat tingginya suku bunga saat ini. Padahal, pertumbuhan ekspor kita sudah melahirkan ancaman serius. Sepanjang tri-wuIanU-2009, eksporkitatumbuh negatif 14,4%.

Satu-satunya harapan adalah penguatan konsumsi dalam negeri sebagai faktor pendorong pertumbuhan. Namun, saat ini konsumsi dalam negeri berpotensi terus menurun karena daya beli rakyat rendah. Bahkan konsumsi rumah tangga pun terancam terus melemah akibat kenaikan harga kebutuhan pokok, terutama menjelang hari besar keagamaan. Melemahnya konsumsi dalam negeri sudah berdampak pada kinerja beberapa perusahaan terkemuka, termasuk perusahaan dalam kelompok industri automotif. Konsumsi pemerintah diperkirakan bakal menciut akibat ancaman defisit anggaran. Pada 2010, misalnya, pemerintah tampaknya tak punya dana untuk membiayai stimulus ekonomi lanjutan. Kalau konsumsi dalam negeri dibiarkanmelemah terus, pertumbuhan kita bisa negatif.

Mengacu pada bobot persoalan yang sedang dihadapi masing-masing motor pertumbuhan ekonomi kita, hanya faktor konsumsi dalam negeri yang perbaikan atau penguatannya masih ada dalam jangkauan kita. Artinya kita masih berpeluang menjaga atau menguatkan daya beli rakyat dan konsumsi pemerintah. Karena itu, kita berharap ada koreksi terhadapbelanja negara dan stimulus fiskal 2010 saat RAPBN 2010 disahkan menjadi APBN 2010. Koreksi itu harus mengarah pada pembesaran anggaran belanja negara dan alokasi dana untuk stimulus fiskal.

Untuk menguatkan konsumsi masyarakat, daya beli rakyat harus terjaga dan diperkuat. Rencana menaikkan gaji pokok PNS dan TNI/ Polri, plus alokasi subsidi untuk mengamankan kebutuhan pokok rakyat, sudah berada di trek yang benar. Namun, belakangan ini, muncul potensi masalah yang bisa merusak strategi menjaga dan menguatkan daya beli rakyat. Potensi masalah itu datang dari rencana kebijakan perpajakan yang sedang digodok di DPR.

Kita paham bahwa pajak dan utang dalam negeri kini sangat diandalkan pemerintah. Dalam RAPBN 2010, misalnya, pendapatan negara dan hibah mencapai Rp911,5 triliun. Untuk itu target penerimaan pajak 2010 pun ditetapkan Rp702,033 triliun. Tak ada pilihan bagi pemerintah selain ekstensifikasi pajak. Kita setuju dengan ekstensifikasi, mengingat rasio pajak kita masih rendah.

Walau begitu, ekstensifikasi pajak tidak boleh sampai merusak strategi pemerintah yang ingin menjaga dan menguatkan daya beli rakyat demi peningkatan konsumsi dalam negeri. Artinya, kebijakan perpajakan sebagai subsistem harus sejalan dengan penguatan daya beli rakyat dan penguatan konsumsi dalam negeri.

Jangan sampai, demi mencapai target, kebijakan perpajakan kita menjadi mata gelap dan jalan sendiri, tak pedulidengan prioritas masalah yangingin diwujudkan.

Rencana kebijakan menaikkan tarif pajak untuk kepemilikan mobil atau kenikmatan di tempat wisata/hiburan, misalnya, termasuk kontraproduktif jika dihadapkan dengan persoalan ekonomi kita terkini. Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (RUU PDRD) DPR mewacanakan pembebanan pajak maksimal 75% bagi tempat wisata berbasis kenik-iu.ii.in Selam itu,dirum.in.iLiii pr nerapan pajak progresif bagi setiap orang yang memiliki kendaraan bermotor kedua dan selebihnya.

Dua rencana kebijakan perpajakan itu kontraproduktif karena praktis mereduksi daya beli rakyat. Sebab, perpajakan sebagai subsistem jalan sendiri dan mengacak-acak strategi penguatan daya beli lewat kenaikan gaji PNS dan TNI/Polri serta alokasi anggaran untuk subsidi. Siapa yang akan membeli kalau semuanya menjadi mahal karena terdongkrak oleh tingginya tarif pajak. Kendati tarif pajak itu dibebankan pada pengusaha, beban itu pada akhirnya didistribusikan juga ke konsumen dalam rupa mahalnya harga tiket, makanan dan minuman plus suvenir.

Perancang RUU pajak apa pun mestinya fokus pada prioritas penguatan daya beli rakyat dan penguatan konsumsi dalam negeri. Jangan gelap mata atau memaksa. Bagaimanapun peningkatan konsumsi dalam negeri pada akhirnya akan menjaga kontinuitas besar-kecilnya pendapatan negara-daerah dari pajak. Pajak tak boleh memperlemah konsumsi masyarakat. Kalau pajak ikut melumpuhkan konsumsi, sama artinya dengan bunuh diri.

Agar kebijakan perpajakan kita tidak mengacak-acak strategi peningkatan konsumsi, persoalannya kita kembalikan kepada sang dirigen. Dia harus mengembalikan kebijakan perpajakan pada harmoni di antara sub-subsistem ekonomi untuk mencapai prioritas ekonomi nasional. Jangan lagi paksakan ego sektoral.(HSI)

0 komentar:

Posting Komentar

Delete this element to display blogger navbar