Kamis, 09 Juli 2009

Masalah Pajak dan PILPRES

Tanggal 9 April 2009 bangsa Indonesia telah melaksanakan pemilu legislatif, yang meninggalkan sejumlah benang kusut. Belum usai benang kusut itu diurai, rakyat sudah harus dihadapkan pada agenda politik selanjutnya, berupa pemilihan presiden dan wakil presiden. Para kandidat presiden dan wakil presiden didukung dm suksesnya, langsung bekerja ofensif, berkampanye merebut simpati massa. Semua janji laksana fatamorgana, terlebih jika kita menengok realitas kehidupan masyarakat. Mereka memosisikan diri sebagai calon wakil rakyat dan calon presiden/wakil presiden yang akan membawa solusi bagi semua problem bangsa.

Pertanyaannya, benarkah para calon wakil rakyat benar-benar beriktikad baik, mencalonkan diri sebagai wakil rakyat untuk memperjuangkan kemakmuran rakyat? Benarkah ladang pengabdian terhadap rakyat hanyalah menjadi wakil rakyat, menjadi presiden dan wakil presiden? Orang bijak mengatakan ladang pengabdian ada di mana-mana. Ladang bela negara ada di banyak sendi kehidupan lain.

Salah satu wujud lain bela negara adalah membayar pajak, sesuai amanat UUD 1945 Pasal 23, bahwa "Pajak merupakan kontribusi wajib rakyat kepada negara baik orang pribadi maupun badan hukum atau warga negara terhadap negara, dengan tidak mendapat imbalan atau kontraprestasi langsung dan digunakan untuk kepentingan negara serta untuk kemakmuran rakyat."

Penerimaan negara dari sektor pajak, selama ini telah dimanfaatkan oleh negara antara lain untuk pembangunan dan penyediaan aneka fasilitas dan jasa pelayanan publik, perlindungan keamanan dan ketertiban masyarakat, hingga demokratisasi. Pesta demokrasi berupa pemilu legislatif dan pilpres, sepenuhnya dibiayai APBN yang notabene adalah uang rakyat yang dibayarkan melalui pajak.

Sebagai masyarakat teladan, para elite politik, para pemimpin bangsa sudah seharusnya memperlihatkan perilaku yang dapat menjadi anutan rakyat. Sudah selayaknya jika mereka menunjukkan kearifan, memperlihatkan bagaimana seorang pemimpin memiliki jiwa kepemimpinan, jiwa mengayomi rakyat.

Alih-alih menampakkan bobot kepemimpinan, yang terjadi dengan sejumlah elite politik kita justru praktik rendah, laiknya sekelompok orang yang tidak berpendidikan. Mereka bahkan bisa melakukan praktik-praktik tak terpuji untuk memperebutkan kursi kekuasaan, baik sebagai wakil rakyat maupun pejabat publik lain. Ttdak jarang yang secara terang-terangan terlibat praktik memperkaya diri sendiri.

Tidak ada yang salah, bahwa sebagian uang pajak rakyat, dialokasikan untuk membiayai pesta demokrasi berupa pemilu legislatif dan pilpres.

Tetapi, teriris rasa keadilan kita manakala yang terjadi justru kita disuguhi pelaksanaan pemilu yang karut-marut. Sebelum Pemilu, tidak sedikit pula dana pemerintah lewat APBN maupun APBN yang dipakai mendanai pilkada, dan berujung pada terjadinya konflik horizontal.

Jika dihitung, biaya pemilu DPR RI, DPD, DPRD provinsi, kabupaten/kota, pilpres lebih dari Rp50 triliun. Belum termasuk biaya kampanye yang resmi maupun tidak resmi dari para caleg, cagub-cawagub, calon bupab-wakil bupati, calon presiden dan calon wakil presiden. Pertanyaan kritisnya adalah sepadankah rupiah yang dihamburkan untuk mendanai pesta demokrasi, dengan tujuan demokrasi bagi kesejahteraan rakyat? Jauh panggang dari api.

Jika para peserta pemilu, pengurus negara ini sudah diwajibkan men-declare harta kekayaannya, tentunya declare juga kewajibannya sebagai warga negara yakni kepatuhan membayar pajak. Membayar pajak adalah sebagai kontribusi terhadap negara untuk membiayai berjalannya roda pemerintahan, membiayai negara untuk biaya pembangunan dan untuk menyejahterakan rakyatnya. Dalam kalimat sederhana, bagaimanamungkin mereka (para calon pemimpin) berjanji menyejahterakan rakyat, kalau kewajiban membayar pajak tidak ditunaikan secara benar?

Maka jika para wakil rakyat, para elite politik, pemimpin bangsa ini membayar pajak dengan baik dan benar, rakyat pun akan mematuhi dan senang membayar pajak dan akan mematuhi pula kewajiban yang lainnya. Namun jika para wakil rakyat dan para pemimpin di negeri ini tidak mematuhi kewajiban membayar pajaknya, bagaimana rakyat akan membayar pajak, loong wakil dan pemimpinnya saja tidak paruh. Kenapa hak dan kewajiban sebagai warga negara ini perlu declare? Karena dengan declare seseorang mengenai kewajibannya mematuhi kewajiban membayar pajaknya maka akan diketahui kekayaannya. Kekayaan berupa uang yang cash on hand berapa untuk biaya pemilu yang akan diikuti oleh peserta yang bersangkutan.

Beberapa negara sudah mempunyai sistem bagus dalam pengelolaan pajaknya. Misalnya Jepang, kehidupan sosial sudah sangat teratur, disiplin, semua sudah pada jalurnya yang jelas, sistem sudah berjalan. Walaupun peta politik gonjang-ganjing, kehidupan bermasyarakat jalan tidak terpengaruh. Aktivitas mereka jalan seperti biasa.

Kehidupan sosial di negara tersebut sudah sangat memadai, jadi tidak ada keraguan masyarakat akan membayar pajak, karena dalam back mind sudah terpatri bahwa uang pajak adalah uang rakyat yang disetorkan ke negara.

Negara Republik Indonesia adalah negara hukum (Rechtstaat), berdasar Pancasila sebagaimana tersebut dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945. Hal ini sangat tegas dinyatakan dalam UUD 1945 bahwa negara Indonesia adalah negara hukum.

Negara h ukum bertujuan mewujudkan visinya mencapai masyarakat adil dan makmur yang tercantum dalam alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945. Pengertian adil mencakup terwujudnya kemanusiaan yang adil dan beradab dan makmurtermasuk terwujud keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Salah satu di antara kewajiban kenegaraan warga masyarakat yang sangat melekat dengan kelangsungan hidup berbangsa dan bertanah air adalah kewajiban perpajakan. Sebagai negara hukum, kewajiban perpajakan harus berdasar hukum yaitu UU Perpajakan. Sebagai negara hukum, kewajiban perpajakan dilaksanakan berdasarkan hukum pajak.

Merujuk pada pengertian hukum pajak keadilan, yaitu dalam arti perlakuan yang adil; bahwa setiap warga negara memenuhi persyaratan subjektif dan persyaratan objektif yang mempunyai kewajiban membayar pajak, tanpa membeda-bedakan tingkatan, kelompok masyarakat (imparsial). Kewajiban melaksanakan UU perpajakan memperhatikan hak asasi dan keseimbangan antara hak dan kewajiban kenegaraan seseorang. Adapun keadilan sosial termasuk dalam pengertian pengenaan beban pajak besarnya sesuai dengan objek pajak yang dimiliki dengan tetap memperhatikan kemampuan seseorang (ability to pay).

Hukum pajak adalah salah satu dari sekian banyak hukum yang sangat membumi, karena menjangkau semua lapisan masyarakat yang menjadi penduduk suatu negara. Sebagai warga negara, salah satu kewajiban yang melekat selama ada kehidupan seseorang adalah melakukan kewajiban perpajakan. Kewajiban perpajakan dilakukan sejak ibu mengandung bayi, memeriksakan diri ke rumah sakit (dokter), membeli obat, membeli baju, dan kebutuhan pangan yang dipakai secara sadar atau tidak, langsung membayar pajak. Baik yang membayar langsung maupun memakai pihak ketiga.

Nah, untuk itu kita berharap kepada para elite politik, para pemimpin bangsa, bahwa membela negara tidak sekadar berebut kursi menjadi pejabat, berebut mandat menjadi penguasa, tetapi yang utama dan pertama, adalah membayar pajak sebagai wujud mematuhi UU. Kepatuhan menjalankan kewajiban perpajakan, juga merupakan kewajiban melaksanakan mukadimah UUD yang diamanatkan negara maupun UUD sebagai falsafah hidup berbangsa dan bertanah air.

Harapan lain, setiap calon pejabat publik harus menguasai benar aspek-aspek perpajakan. Di samping, paruh dan taat menjalankan kewajiban perpajakan. Tanpa itu, yang terjadi adalah sebuah ironi. Sebab, penerimaan pajak saat ini mengon-tribusi tak kurang dari 80% penerimaan negara dalam APBN.

Karena itu menjadi ironi, manakala elite politik mengumbar janji menyejahterakan rakyat, tetapi sama sekali tidak pernah menyinggung aspek perpajakan. Setidaknya ikut menggugah kesadaran rakyat, bahwa penerimaan pajaklah yang selama ini dan ke depan akan menopang kita sebagai sebuah bangsa yang mandiri. Bukan jargon politik. Bukan janji politik. Bukan pula retorika tanpa makna. Dan, mestinya bukan pula utang luar negeri.

Sumber : Media Indonesia

0 komentar:

Posting Komentar

Delete this element to display blogger navbar